"Gak ada Warna pink Bu? Iyah atuh pake, biar tanda (anak) cewek." -FYS, not FYI, Ibunda Nak Raiya-

Sedikit kutipan dari salah seorang teman dekat yang sangat beruntung sekali mendapat tawaran dari saya untuk dibuatkan bando rajut, buat putrinya -yang sering dibilang ganteng bahkan Dek Bayu mengira itu photo Dedek Cowok saat dia mengintip layar handphone saya- yang sebentar lagi genap setahun! Yeay! Itung-itung sebagai kado, kecil? Wuaaah maaf mau mendebat dan bukan bermaksud sooombong yeh :p Ibu kira ini justru salah satu kado "terbesar dan termahal", Nak :')

The Reasons...
Mengapa ini termasuk kado mahal yah, Bu Sella?
Ini mari kita lihat dari "Nilai" bukan "Nominal"-nya semata, Nak.
Bandar Lampung yang berslogan Tapis Berseri ini, merupakan kota pinggir pantai yang eksotis sekaligus gerah, wajar kiranya banyak yang menganut paham "Senggol Bacok". Untuk itu, adalah hal sulit tingkat Kera Sakti bagi saya yang mulai menekuni hobi merajut untuk mendapatkan benang, jangankan yang Woll, Bamboo, atau Aklirik. Untuk dapat Polyster saja mesti keliling kota, pun warna yang ditawarkan terbatas dengan harga yang sedikit Subhanallah. Karena gerah itu tadi, disini jarang memanfaatkan hasil rajutan, cukup jarang.

Setelah saya bertanya pada fitri -yang punya banyak benang- dimana asal muasal kesemua benang rajutan itu, saya segera mendapat pencerahan:

BELI ONLINE !!!

Yaelah kok gak kepikiran sih, padahal saya juga ngumpulin peralatan kueh dari online, di Bandung, kiblat jajanan Nusantar versi saya.
© 2016 Peri Tinkersell
Maka terfikirlah kota Bogor yang identik dengan hujan juga perkebunan teh serta puncak yang dingin. Pasti banyak yang jual alat serta perlengkapan merajut, pun saya menemukan toko online yang insyaallah recomend :D 

Begitulah dari Bogor-Lampung-Bandung, itu gak murah, Nak :)
Kemudian, ini adalah skill tersembunyi punya Ibu, kamu akan jadi bayi pertama yang menggunakan hasil karya desainer wanna be ini, Nak.


Dan, tentang warna pink...
Mengapa
pink identik dengan feminisme?
Ilmuwan asal
University of Newcastle dalam jurnal Current Biology memaparkan sebab musabab ilmiahnya.
Dipimpin oleh Dr. Anya Hurlbert, tim ini melakukan ujicoba pada 200 lelaki dan perempuan berusia 20-an. Mayoritas perempuannya menjawab bahwa mereka suka warna paduan biru dan merah , tapi benci warna hijau dan kuning . Mereka terdiri dari dua jenis ras berbeda, Inggris dan China. Ternyata selera warna tidak dipengaruhi oleh budaya etnis, melainkan faktor biologi.
Wanita cenderung memilih buah matang, kenapa?

“Evolusi menyebabkan perempuan menyukai warna kemerahan. Mereka cenderung memilih buah warna merah , wajah kemerahan. Budaya juga memberi andil di dalamnya,” ujar Dr. Hurlbert.

Sedangkan lelaki cenderung suka warna biru sebab memang tugas mereka sejak lama adalah mencari sumber air bagi keluarga atau sukunya. Warna biru identik dengan sumber air yang baik, bisa dikonsumsi. Mereka juga menganggap bahwa langit biru cerah adalah pertanda cuaca yang bagus untuk berburu.
Studi ini memicu Yazhu Ling, rekan Hulbert, untuk mengadakan riset lanjutan. Ia akan melakukan studi pada anak-anak dan menginvestigasi hubungan antara pilihan warna dan tingkat depresi mereka.

Sekilas tentang sejarah warna Pink
Pink adalah warna merah pucat, penggunaan kata untuk warna pink pertama kali tercatat pada akhir abad ke-17 yang menggambarkan bunga-bunga merah muda, tanaman berbunga dalam genus Dianthus. Roseus adalah kata Latin yang berarti “rosy”(warna merah) atau “pink”(merah muda). Lucretius menggunakan kata untuk menggambarkan fajar dalam puisi epik On The Nature of Things (De Rerum Natura) . Kata roseus/pink ini juga digunakan dalam nama binomial dari beberapa spesies, seperti Rosy Starling (Sturnus roseus = sejenis burung) dan Catharanthus roseus (sejenis bunga).
*Dikutip dari sini.

***

Saya kira, ini hanya tentang budaya yang sudah kadung melekat pada masyarakat Indonesia, secara umum. Toh Dek Bayu -yang memang terkenal beda sendiri dari kawan seusianya- begitu suka berbagai hal yang berasa Strawberri juga bernuansa Merah-Pink, saya tidak melarang. Paling Ibu saya yang berang.

© 2016 Peri Tinkersell
Kembali lagi pada Nak Raiya, yang sebaiknya memang jangan pakai kaos bergambar dinosaurus lagi. Dan rambutnya dipanjangin saja, dikasih kemiri bakar serta lidah buaya yang sudah disihir jadi taneman. Terpenting, frekuensi sapaan "Cantik" mesti lebih ditingkatkan yah Bu FYS :p

Jadi, saya rela sih begadang tiap malem juga demi merajut bando-bando dengan nuansa pink, bagi Nak Raiya. Biar makin feminim dimata orang Indonesia, tentunya. Kalau memang mesti begitu.
Tapi Nak, Ibu ngerjainnya sambil diselingi hal lain yah? Soalnya, sebagai manusia biasa yang berhati malaikat, Ibu juga butuh minum, makan serta tidur setelah shalat. Serta nyari uang, sesekali. Oh yah, dan perlu banget juga untuk MANDI !!! Biar seger, termasuk otak juga. Biar lekas ketemu jodoh juga, bantu doa yah nak, biar kamu lekas nambah saudara juga.

Bandar Lampung,
12 Juli 2015

Sumber foto:
-Ragam pose Nak Raiya dalam balutan feminis.
-Perlengkapan merajut (koleksi pribadi).