Jika ada orang yang diperbolehkan saya untuk kesal kepadanya tanpa sebab yang jelas maka adalah kepada Kang Cahya. Harusnya. Tapi, sekesal apapun itu hanya dibibir saja. Kesal-kesal gemas. Begitulah.

Cahya Maula Shidiq. Sering disangka nama perempuan. Kebalikan dari F. Yuval Syahriar yang suka disangka laki-laki. Jadi, Kang Cahya ini selain anak dari Ibu-Bapaknya, dia adalah anak UPI Bandung juga. Angkatan dua ribu berapa gitu pokoknya udah lulus dua tahun lalu. Sebenarnya, hubungan pertemanan kami "aneh". Seingat saya, pertama kenal 2012-an karena beliau sempat mendapat Beasiswa MRUF (Mien R. Uno Foundation) semacam beasiswa untuk pelaku Wirausaha muda. Saya masih aktif di HIPMI dan beliau beserta rombongan datang melamar mengisi acara Sharing Bisnis. Seingat saya juga, kami cuma 2 kali pernah tatap muka. Sejauhnya berteman di sosmed. Sesekali What's App kalau memang "beneran" perlu.

Sama-sama berkecimpung pada bisnis kuliner bisa jadi sebagai penyebab "keakraban" kami. Kalau bisa disebut begitu. Tapi tidak juga. Heum...atau karena sama-sama memiliki persoalan dengan obesitas? Nah ini sangat mungkin. Kalau persoalan tentang jodoh? Ah itu sih setiap orang memiliki masanya.

Bisnis Kuliner Kang Cahya

Setelah bertahun-tahun berlalu, saking lamanya, kalau saat itu saya punya bayi, mungkin dia sudah mau masuk Taman Kanak-Kanak. Saya bertemu lagi dengan Kang Cahya di Luar gerbang Masjid Al-Aqsa, Sarijadi bukan Palestina. Pertemuan yang sengaja dan direncanakan. Dia minta tolong ngeprint brosur ke saya. Gak banyak, justru karena gak banyak itu jadi percetakan pada gak mau. Nah karena saya sekarang berkecimpung di dunia begitu maka ini adalah permintaan yang mudah untuk dikabulkan oleh ibu peri *tring* *backsound fly tinkerbell berkumandang*.

Eh sampai mana tadi?

Setelah melakukan transaksi (it's sound gimana gitu yah?) Kang Cahya segera memasukkan paket ke dalam tasnya. Saya agak khawatir gak muat soalnya tas dia kayak yang penuh banget.

"Muat Kang?"

"Muat, gak tau kalau Sella (yang masuk ke tasnya)."

Ini seperti obrolan bercanda biasa. Tapi, MUKANYA KANG CAHYA DATAR BANGET. Saya hampir gigitin pagar Masjid. Tapi bisi disangka antek-antek Israel yang hendak menghancurkan Al-Aqsa secara perlahan. Yah, benar-benar perlahan dan lama kalau saya cuma gigit-gigit.

Brosur bimbel titipan Kang Cahya © 2016

Displaying Slide1.JPG
Tersebab saya hendak ke Yomart yang di Sarimanah simpang Sarimanis (sebenarnya di Cijerokaso juga ada Yomart cuma kurang lengkap) jadi saya ikut naik angkot bareng Kang Cahya. Beliau mau pulang ke rumah, di Sarimanis. Meski udah di "muka-datar-in" saya kok masih mau-maunya ngobrol sama dia. Lalu Kang Cahya mulai tanya-tanya...

"Masih kontakan sama mereka (anak-anak hipmi.red)?"

"Heum paling sama Kang Aciel."

"Dasar, masih aja."

"Tapi udah putusan kok,"

"Saya juga mau fokus ke bisnis jual-beli pendidikan (bimbel.red). Bisnis Katering mau diurus adik aja."

"Adik suka masak, Kang?"

"Gak sih, cuma baru mau belajar."

Kalau ini adegan novel, niscaya saya bakal bikin dialog terakhir lebih greget. Misal...

"Kamu suka Aku, Kang?"

"Gak sih, cuma baru mau belajar."

Untungnya ini cuma blog curhatan. Bukan novel.


Saya tebak, Kang Cahya sebenernya mau ketawa. Kalau kamu tau cerita-cerita saya sama Kang Aciel di postingan dulu-dulu mungkin kamu bakal ngerti. Jadi, Kang Cahya mau ketawa, pake muka datar.
Kang Cahya sempet tanya-tanya tentang suami. Dia tau ceritanya tapi masih berusaha ngebercandain dan menghangatkan suasana, mungkin. Tapi tetap, dengan muka datar. Saya juga sempat tanya tentang bakal calonnya yang batal jadi calon. Dia kayak tersinggung. Tapi gak tau pasti juga. Soalnya mukanya masih datar.

"Bukannya gitu (gak mau ingat masalalu) cuma memang gak untuk di bahas." Begitu tuturnya. Ingat, masih dengan wajah datar.
Pas turun angkot, dia bayar ongkos untuk berdua. Saya ngucapin terimakasih. Dan pas nyebrang jalan...

"Eh ganti (ongkosnya)." Dia bicara di sisi saya. Saya bingung dia bercanda apa serius. Kamu pasti tau sebabnya, yah, dia bicara dengan wajah datar.

"Eh, gak sih. Bercanda. Makasih yah."

Dan itulah akhir percakapan saya, sang wajah ekspressif dengan Kang Cahya, si muka datar. Harusnya tadi saya ajak dia ke Yomart yah biar sekalian minta dibelanjain, dengan wajah datar. Saya masih banyak perlu belajar. Sabar.

“If you don’t build your dreams someone will hire you to build theirs” (anonymous)

Yang bikin saya salut sih, dia ini cowok tapi suka masak dan memperjualbelikan kemampuan masaknya. Kayak Ayah saya. Dan kebanyakn cowok yang bisa masak itu, rasa masakannya lebih enak dan stabil dibanding cewek. Mungkin faktor psikologi memengaruhinya. Terus gak stuck di satu bidang. sebagai alumni Ilmu Keguruan, Kang Cahya pun mengamalkan Ilmunya. Jadi guru. Kan, keren gak? Kamu berminat? *eh*

Bandung, 11 April 2016




Abis kebangun dan susah tidur lagi.