Sebagai tamu di Kota Bandung, The Capital City of Asia-Africa, maka saya mesti selalu manut dengan kebijakan bajik yang ditutur oleh Pak Wali. Tentu saja dalam hal ini yang saya maksud adalah Pak Wali Kota, Ridwan Kamil. Bukan Pak Wali nikah saya, Ayahanda Benny. Satu diantara kebijakan yang mengandung unsur kebajikan itu adalah "Belanja di Warung Tetangga". Namun apa daya, warung tetangga yang jaraknya sekitar sepuluh langkah besar dari kosan saya belum mampu memenuhi segala kebutuhan. Misal, saya butuh toples plastik peranti wadah kerupuk sebagai teman makan eh di warung tetangga gak ada. Pas saya butuh kehadiran kamu peranti teman hidup eh di warung tetangga juga gak ada. Terpaksa deh saya pergi ke Liana (nama sebuah swalayan) yang jaraknya sekitar seratus mapuluh meter dari kosan. Yah minimal, saya masih tetep belanja di tetangga. Swalayan tetangga.

Maka pergilah saya ke Liana Swalayan dengan Tote Bag (Tau kan kebijakan yang ini, kantong plastik berbayar di swalayan?) Di saku jaket sebelah kiri dan dompet kecil berisi uang rupiah "secukup-kiranya" di saku sebelah kanan. Dan kunci, dipergelangan kaki eh tangan. Alasan saya bawa rupiah, karena saya pasti gak akan dilayanin kalau bawa Won apalagi bawa lembaran Daon. Pasti gak laku. Alasan bawa uang "secukup-kiranya" juga karena saya gak mau nurutin setan. Dia suruh saya bawa uang banyak-banyak. Biar boros. Biar jadi temennya. Kan kan kan gak mau.

Start saya memasuki Liana ba'da maghrib. Mungkin lain kali saya mesti periksa mata ke Optik. Soalnya ada yang aneh. Kenapa pusat perbelanjaan selalu nampak bersilau di mata saya? Kalau karena efek lampu, ah tidak juga. Terus, kenapa saya merasakan kesejukan kayak yang lagi ada di surga tapi tidak ada air mengalir di bawahnya. Yang ada, uang dari dompet kita yang mengalir deras ke laci kasir kalau gak di bendung.

Keliling lah saya, terus di suatu rak menemukan aneka masakan dan jajanan pasar. Dan tau sekarang apa yang berkilau di mata saya? SEMUR JENGKOL!!! Yap benar saudara-saudara. Saya eksyaitit banget sama semur jengkol. Dia dan Rendang adalah Dua menu peringkat teratas dalam daftar menu yang "BELUM DIKUASAI NAMUN HARUS KARENA ENAK BANGET". Dia dan rendang padang selalu bikin saya bertekuk lutut dihadapnya dan bikin baper karena merasa cemen juga keder kalau disuruh memasaknya. Dia dan Rendang Padang buatan Ayah adalah yang selalu bikin saya kangen untuk kemudian ingin cepat-cepat balik ke Rumah. Gak masalah sama aroma amoniak yang pasti melekat di kamar mandi. Karena sekarang udah ada Wipoll anti kuman yang bikin kamu serasa berada di hutan cemara.

Semur Jengkol (source: masakanlezat.com)

Tapi...misi saya ke Liana bukan untuk membebaskan Semur Jengkol dari Rak Pajangan untuk kemudian menebusnya di Meja Kasir. Bukan itu. Saya kan niatnya cuma mau beli toples --yang gak tersedia di warung tetangga--. Tapi...tega kah saya melihat Semur Jengkol melambai-lambai gemulai? Padahal saya sudah makan nasi pake ayam kecap buatan Tria. Padahal saya sudah nempel tulisan besar di kamar;

DIE(T) or DIE
Dan siapapun bisa mudah menebak, semur jengkol berpotensi besar menjadi penggagal paripurna program diet saya. Kemudian saya bimbang. Muter-muter Liana walau sudah nemuin toples. Saya galau.

Saya ubek-ubek gadget. Siapa tau dapat pencerahan. Saya tanya sama Tante Google, ayat apa yang bisa menguatkan saya untuk tidak tergoda dengan rintihan semur jengkol nan medok itu.

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemborosan itu adalah saudara setan." - Al Israa 26-27 -
Oke fix, kalau udah dianggep-anggep sudara setan gini mah saya nyerah. Setan gak dianggep sodara aja seneng berkunjung ke hati saya, apalagi kalo udah jadi sudara? Mungkin dia bakal jadi penghuni tetap dan aktif. Saya ngobrol sama sella yang wajahnya muncul pada layar henpon yang tetot mati karena abis batere.

"Sel, kamu udah makan ketoprak, seperapat kilo manggis, 2 porsi nasi ayam kecap, mie bakso serta kerupuk 2 bungkus hari ini. Dan kamu masih mau ngembat semur jengkol, Sel? Sella yang kamu lakukan ke perut aku itu jahat!"

Kemudia Sella menghilang, saya simpen dia di saku celana training. Teteh yang jaga kasir merhatiin saya. Dikiranya saya kehilangan arah. Saya samperin Teteh kasir. Bukan, bukan untuk marahin dia sambil nunjuk-nunjuk dan teriak kalau saya anaknya Jendral. Saya cuma mau bayar apa yang sudah saya masukkan ke dalam keranjang belanja warna biru. Dan, tidak ada senyuman Semur Jengkol Medok di sana.

Saya, pasti akan membebaskan kamu dan menebusmu. Tapi bukan hari ini. Mungkin besok atau lusa. Bukannya saya tak suka kamu. Bukan juga saya tak mampu meminang kamu. Tau kan, perempuan Minang punya kemampuan untuk Meminang. Bukannya aku tak menginginkan kebersamaan kita. Hanya saja, sekarang bukan waktu yang tepat.

Ingat yah semur jengkol di Liana Swalayan. Kutandai muka kau!

Bandung, April 2016




Belum beli gas dan banyak cucian.