Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

Tuesday, 12 December 2017


Hari ini, Sella mau ngedongeng saja. Ah, dongeng adalah istilah yang sudah lama tidak Sella pakai. Dan hari ini muncul kembali karena Kang Ragam sebut-sebut tentang dongeng.


Source: Google


Ada makhluk yang namanya Sungai. Bersahabat, menenangkan dan selalu menjadi pusat gurau canda tawa bagi makhluk lain di sekitarnya dalam kondisi normal.

Angsa, Rusa, Gajah dan manusia tertawa jenaka dalam alirannya sambil main percik-percikkan. Rumput-rumput dan pepohonan menikmati kehidupan melalui kecupan-kecupan akar pada Sungai. Batu-batu besar saling adu kuat, siapakah yang mampu bertahan paling lama menggenggam Sungai. Ikan-ikan, udang, daun dan kotoran tak sungkan berbagi ruang dalam dekapan Sungai. Ditambah lagi, aliran-aliran air dari segala penjuru yang lebih kecil. Ah, alangkah  tentramnya Sungai dalam kondisi normal.

Dan Sungai, agar selalu jernih, harus selalu mengalir. Samudera adalah tujuannya. Tapi kadang Sungai lupa, seperti hari ini, bahwa bukan hanya dia yang butuh Samudera. Banyak makhluk lain di Bumi ini yang butuh Samudera. Sungai tak boleh terlalui egois. Ikan-ikan laut, ganggang, Kapal nelayan, Kapal pesiar dan beberapa makhluk lainnya pun butuh Samudera.

Sungai pongah, Ia merasa makhluk lain adalah benda asing. Uring-uringan lah si Sungai. Tak lagi setenang hari biasanya, Ia menahan-nahan aliran. Ditambah lagi, hujan deras melanda. Air jernih Sungai bertransformasi bagaikan Es Milo yang bongkahan es-nya mencair. Coklat, dingin namun hambar.

Dalam kondisi tidak normal, Sungai bukan lah makhluk yang menyenangkan. Beberapa memilih menghindar. Beberapa tetap bertahan.

Sungai hampir banjir. Sungai menyalahkan hujan. Ah, tapi hujan berasal dari gumpalan awan. Ah, tapi gumpalan awan berasal dari uap air di Samudera. Ah, tapi air di Samudera pun sesungguhnya berasal dari Sungai.

Maka, penyebab kekacauan di Sungai adalah Sungai sendiri. Bukan dari luar, bukan dari makhluk lain.

"Pantesan Tuhan senang nyusahin hamba-Nya kalo hamba-Nya sedang tidak dekat dengan Dia." - Kang Aciel, dalam Hiburan Siang -

Tuhan sepertinya sedang bikin Sungai susah dengan adanya banjir. Padahal sesungguhnya yang sebenarnya, Tuhan hanya ingin Sungai kembali jernih. Kembali menyenangkan.



-  (Belum) Tamat -






Tampines, December 12th 2017

Wednesday, 8 November 2017

Ibu

Aku mematut diri pada cermin, di sana ada bayangan punggung dengan gores merah keunguan. Hadiah dari Ibu tadi Siang. Aku melakukan kesalahan lagi, yah lagi-lagi aku mampu dengan mudah membuatnya marah. Sebenarnya ini karena angka dalam lingkaran besar bertinta merah pada kertas lembar jawaban pilihan ganda, hasil ulangan akhir semester minggu kemarin. Tidak begitu buruk bagiku mendapatkan nilai delapan tapi Ibu menginginkan lebih. Kesempurnaan.

Sebenarnya Aku ingin menjerit tapi pada akhirnya hanya bibir yang mampu kugigit. Luka sabetan gantungan baju –yang akhirnya jadi korban karena patah- masih membekas dari kemarin saat aku menolak untuk tidur siang dan malah asyik menghitung butiran gundu sambil sesekali menyentilkan pada gundu lain di lantai ubin.


“Kamu mau jadi anak durhaka yang tidak pernah mau menuruti Orangtua, seperti kawanmu yang lain?”

Begitu lah selalu kalimat penutup khotbah Ibu. Aku sudah sangat hafal karena ini acapkali dilantunkan semenjak Aku mulai bisa berjalan dan merepotkan, menurut Ibu. Dan Ayah? Ah Aku rindu Ayah tapi beliau hampir tidak pernah di rumah. Sibuk pergi pagi pulang pagi atau bahkan tidak pulang samasekali. Sibuk mengais butiran rezeki.

*****

Pagi  ini Aku bergegas pergi ke sekolah tanpa menunggu Ibu pulang dari Pasar. Sengaja saja, Aku sedang tidak ingin menambah coretan gambar pada punggung untuk pagi ini. Kalau-kalau saja Ibu kembali melihat ketidaksempurnaan pada diriku, Aku takut.

Kususuri jalan setapak kerikil berdebu menuju Sekolah. Tidak ada yang istimewa, hanya saja udara terasa lebih anyir dari biasanya, angin laut tak pernah sesendu ini dalam penciumanku. Debur ombak juga terdengar, tentu saja, karena jalan ini dengan pantai hanya dipisahkan oleh sederetan rumah nelayan. Pantai selalu paling memahami aku. Ia tak letih memainkan lagu melalui deburan ombak pada karang-karang di pagar Laguna. Lagunya kadang senang kadang sedih, ikut-ikut suasana hatiku. Tapi lebih sering sedih, yah seperti Aku bilang, Ia ikut-ikut suasana hatiku.

*****

Ibu Fatmah menatapku dengan penuh tanya juga curiga. Aku hanya senyum disambung mencium punggung tangan Beliau.

"Ada masalah lagi, Qayyah!?"

Sebenarnya aku ingin bilang "iya" dan menceritakan sebab-sebab rintihan yang Aku telurkan saat sesekali walikelasku ini mengelus pundak atau punggungku jika Aku berhasil memecahkan soal aritmatika di papan tulis atau aku ingin juga berkeluh-kesah perihal sumber kesenduan pada sorot mataku saat beliau menerangkan perbedaan prosa, puisi, pantun atau sajak.

Aku ingin tapi adalah hal yang mustahil ketika mendadak terdengar kegaduhan di halaman sekolah dan seorang wanita terdengar berteriak memanggil nama seseorang.

Aku memasang telinga dengan awas demi menajamkan pendengaran. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih. Karya hujan yang didukung oleh atap bocor. Tapi, pagi-pagi begini aku nyatanya terpaksa menelan pil pahit. Aku masih berdiri di ambang pintu kelas dan masih mendengar teriakan tadi. Teriakkan itu menggaungkan sebuah nama,


"QAYYAHHHH!!!!!!!"

Yah, itu lah namaku dan Kau pasti bisa tebak siapa yang berteriak itu kan? Benar, itu suara Ibu.
Entah apa yang dibicarakan antara Ibu dan Bu Fatmah yang jelas kulihat raut wajah cemas dari wali kelasku itu. Sebelum keburu Ibu mengamit tanganku untuk diseret pulang, Bu Fatmah masih sempat mendekatiku dan berbisik lembut "Allah bersama orang-orang yang sabar". Kemudian dibelainya kerudung coklatku. Aku hanya mampu merekayasa senyum. Sambil mencium punggug tangan Beliau dengan khidmat. Entah mengapa, Aku khawatir ini yang terakhir.


Sesampainya di rumah Ibu langsung mengunci pintu dan mencabut kunci dari gagang pintu untuk kemudian dimasukkan dalam saku. Sepanjang jalan tadi Ibu hanya diam berusaha menunjukkan suasana biasa pada tetangga. Dan aku hanya bisa membaca-baca doa selamat dunia akhirat serta zikir pendek seperti yang diajarkan Abi Mukmin pada pengajian setiap sore di Masjid.

"Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar," kuingat terus jurus tenang dari Bu Fatmah.
Ibu yang tadi langsung masuk ke kamarnya kemudian keluar lagi membawa sebatang lilin dan korek api yang aku belum tahu akan digunakan untuk apa karena sekarang masih pagi dan sedang tidak padam listrik.

"Hidupkan lilin ini dan letakkan di lantai,"

"Iya, Bu."

Aku turuti perintah beliau dengan sedikit gugup, Aku selalu merasa takut di dekat Ibu. Kawan-kawan selalu bercerita tentang kebaikan Ibu mereka dan itu tidak ada pada Ibuku. Guru-guru di sekolah tak lelah mengingatkan keutamaan berbakti pada Ibu dan aku tidak pernah kurang apa pun dalam membakti, kurasa. Abi di tempat mengaji acapkali mengingatkan untuk tak lupa mendoakan Ibu tapi Aku? Aku bahkan selalu merasa doa-doaku untuk diri sendiri saja selalu tak cukup menggugah hati Tuhan.

"Letakkan tanganmu di atas api itu?"

"Tapi, Bu.."

"Jangan membantah, Ibu tadi bilang tunggu ibu pulang dari Pasar, sekarang Anak Ayam Kita hilang dua ekor karena Kamu tidak mengunci kandang."

"Maaf, Bu..."

Aku baru ingat tentang kandang berisi ayam di halaman belakang, aku memang lupa menguncinya karena pagi hari mereka biasa dibiarkan keluar mencari udara segar.
Aku mengiba-iba untuk dimaafkan tapi ini memang tampak seperti menegakkan benang basah (satu istilah yang kusuka dari Bu Fatmah) mengingat tabiat Ibu.


"Kau ingin menjadi anak durhaka seperti kawan-kawanmu yang lain?"

Demikian lah kalimat penutup khotbah Ibu, itu artinya aku mesti bersiap memanggang tangan. Entah sampai kapan. Dan kini pun Aku mulai mengantuk. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih.


Tampines, Agustus 2017

Sayang kita tak pernah sempat. Menyisakan sebuah ciuman untuk seluruh cerita yang entah. Meski disesali atau hanya sekedar dicatat. Tahu tahu pagi sudah merapat. Kau mesti berangkat, dan Aku merapikan bangkai kenangan yang tak boleh dirawat lantaran terlanjur laknat. Dan inilah saat yang paling gawat; memandang Kau di muka pintu. Merapikan rambut dan menyusun semacam kalimat perpisahan, lalu tersenyum (agar kita tampak bahagia?).

Setelah itu, punggungmu akan menjauh. Sedang Aku berpura-pura sibuk seolah ada yang harus segera kuselesaikan. Selain menunggu peristiwa ini berulang dan nanti, kalau kebetulan kita bertemu dan merasa percuma, sudah kusiapkan bisikan untukmu “Kita hanyalah sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi". Percayalah, kalimat pedih itu akan membuat kita punya alasan untuk sekadar melupakan pahitnya nenanggung ingatan.

Bandung, January 2016

Pohon-pohon berlari ke belakang, melawan arah kenangan. Di balik kacamatanya, pandangan matanya redup. Lurus ke depan.

”Antar aku ke toko buku, tujuh hari lagi ya,” ajaknya seminggu lalu.

Kami saling menatap. Ia tersenyum. Aku tertulari. Senyum seraya mengkhayalkan kulit-kulit halus di balik jilbabnya. Sopir angkot dari tadi berupaya keras tak memedulikan kami berdua. Lalu, ia mengamati rambutku yang mengilat, dibelah dari samping. Kemeja kotak-kotak, ikat pinggang, celana katun, dan sepatu kulit hitamku.

”Ada apa?” Tanyanya.

”Ah, tidak.”

Kugenggam jemari tangan kirinya yang tertelungkup di atas pangkuannya. Roknya terulur hingga tumitnya. Jemari tangan kami mulai berpeluh! Dadaku gemetar.

Di dalam kamar sempit, bercelah kecil, aku suka berbaring.

”Maaf, aku belum pernah menyentuh tangan perempuan. Baru kali ini.”

”Aku juga. Baru disentuh kali ini.”

Begitulah pesan pendek di ponsel kami.

”Tapi,” imbuhnya, ”hanya kuserahkan segenggam buah anggur. Takkan kuberikan melon-melon di gunung-gunung itu, di dekat semak belukar berikut ilalang subur menawan. Kecuali, di tikungan jalan itu, kau merapatkan langit dan bumi, mata air kepada arusnya, laut kepada ombaknya, sungai kepada alirnya, serbuk sari kepada putik oleh angin atau beburung kesayanganmu di mana ikatan janji telah dikuatkan, seruling asmara telah ditiup di antara bisik-bisik 'amin' kepala-kepala manusia yang menyaksikannya.”

”Insya Allah,” kataku.

”Insya Allah,” jawabnya.

Tampines, November 2017

Thursday, 29 September 2016


Beberapa orang sependapat bahwa jodoh adalah orang yang ada di lingkungan kita, bisa jadi dia adalah orang terdekat kita. Atau sahabat? Mereka tentu saja setuju dengan beragam contoh seperti Rasulullah S.W.A. dan Siti Khadijah R.A. atau Fatimah dan Ali. Nabi Sulaiman A.S. dan Ratu Bilqis pun begitu, memang Negerinya berjauhan. Namun Beliau sama-sama seorang pemimpin dari Negerinya, kan? Beliau-beliau ini berada pada satu frekuensi lingkungan. Apakah itu sudah cukup meyakinkanmu?

Baiklah, jika memang jodoh adalah orang yang ada di lingkungan kita, bisa jadi dia adalah orang terdekat kita. Atau sahabat? Maksudku, Apakah dia adalah orang yang selalu tampak baik dihadapan kita? Atau musuhmu sekarang mungkin saja memiliki peluang untuk menjadi jodohmu. Fakta ini bisa jadi membuatmu takut, bisa juga penasaran. Kisah-kisah yang biasa muncul dalam drama-drama korea atau ftv-ftv lokal ternyata bisa saja benar terjadi di sekitar kita.

© 2012 Peri Tinkersell
Adalah seorang gadis yang berada pada usia akhir fase psikologi perkembangan masa untuk berpasangan, memiliki impian besar tentang Negeri Mesir, bukan saja jatuh cinta pada ketenangan sungai Nill, bukan pula mendamba hiruk-pikuk Kairo dan juga bukan karena terprovokasi oleh kisah-kisah Habiburrahman EL Shirazy. Baginya, Mesir adalah tanah impian, tanah yang paling kondusif untuk mengembangkan kemampuan bahasa Arabnya. Negeri yang memiliki frekuensi yang sama dengan dirinya, kucing pada satu sisi dan singa pada sisi lain.

Pada bingkai kehidupan yang lain, seorang pria yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren, sedang menikmati masa-masa akhir pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Setelah bercerai dengan istri yang baru saja tiga bulan ia imami dan juga setelah ibunya wafat, rasanya tidak terlalulah perlu untuk kembali ke tanah kelahirannya. Jika seseorang berkata bahwa seorang Ibu dan seorang Istri adalah sayap kiri dan kanan bagi seorang pria, maka pria ini sudah tidak memiliki sayap. Sementara waktu bergulir mendekati Agustus, bulan kelulusannya, sementara itu juga ia makin risau. Bukanlah pilihan mudah antara menetap atau pulang jika dirimu burung yang tak bersayap.

Apakah mereka berjodoh? Entahlah, mereka bukan sepasang teman, kurang juga tepat disebut musuh. Tidak pernah satu sekolah atau kampus. Tapi, takdir membawa mereka pada satu jalan. Jalan yang bisa dilalui darimana saja. Entah melalui ibu dan saudari sang pria pada masa lampau, melalui media sosial dan pekerjaan pada masa kini atau melalui tangan Tuhan pada masa depan.

Thursday, 31 March 2016

 
(photo bye koleksi pribadi)
 © 2016 Peri Tinkersell


Kadang-kadang, aku lelah untuk berdiri sendiri. Hingga butuh kamu untuk menopang tubuhku. Menikmati ketenangan di atasmu. Kadang-kadang juga, aku bisa kesemutan. Hingga memilih sejenak berdiri. Bukan untuk pergi meninggalkan kamu. Aku cuma butuh jeda. Aku sadar benar, berada pada topanganmu sangat nyaman. Tapi, kenyamanan itu tak akan terasa nyaman sebelum aku merasakan ketidaknyamanan kan? Dengan ini, aku sengaja berdiri untuk menikmati duduk. Pada akhirnya, aku toh akan duduk juga.

Friday, 11 March 2016

I'm just waiting you...
Till rainy day drop
Or sunny make it stop

No matter how long I'll
As far as you run
I try to always enjoy and fun

Sometimes, gloomy Sunday isn't mean a bad day
Agree?
And blue Tuesday also will go away
Agree?

And,
Dandelion on my hand was fly high and higher to the sky
She talked to the cloud that I never say good bye

Dandelion show me the hope
She make me strong as a lion whose falling in love

*make a puisi without my mother language is not easier than I imagine before, hehe*

Bandung,


11/3/16
Happy your day!
© 2016 Peri Tinkersell
Jemarimu yang menelusup diam-diam di balik lengan pakaian. Dulu. Karena kini tak dapat lagi aku nikmati. Saat angin masih setia diam-diam menelusup pada jari-jari mesin bergigi. Namun kamu sudah tidak lagi.
Aku masih duduk di serambi, diantara batang-batang bambu yang tersusun rapih. Secangkir teh hijau beraroma melati tak berkutik saat aku kecupi. Ubin-ubin kutatap, berdebu dan tak pernah sempat kusapu.
Aku masih sesekali berdiri kala deru mesin terdengar dari suatu penjuru. Kulihat ke balik pintu namun itu bukan kamu. Ketika ada derap sepatu mengetuk lantai serambi yang berdebu. Itu masih tetap saja bukan kamu.

Jemariku yang kini sendiri tak ada kawan main. Tak lagi bisa menelusup atau ditelusupi. Diam-diam dibalik lengan pakaianku, aku terus setia merindu sentuh.
Batang-batang bambu di serambi masih tersusun rapih. Mengapa tidak lagi dengan hati?

Bandung,


Dibuat pada tanggal 6 maret.
Dipublish pada tanggal 11 maret, selamat ulang tahun buat Aa Martas.

dokumentasi pribadi sella
 © 2016 Peri Tinkersell

Thursday, 20 August 2015


Teruntuk sesuatu yang terlalu lama lekat pada hati tiada tersekat. Membiasakan hidup normal seperti sebelum saling mengenal, walau terlampau jauh sudah memasuki tahun ke-empat.Partikel kecil yang terkukung pada sebuah zat, meronta mencoba mencari maknamu dari berbagai mahzab. Segumpal darah yang memadat, pada akhirnya hanya mampu pasrah mengenai kedudukanmu sebagai sahabat. Harapan, impian, angan atau apapun itu, sejatinya mesti perlahan dilumat seiring dengan datangnya undangan berupa surat. Kabar yang membuat kerongkongan serat, lusa kau akan ber-akad.



-Peri Tinkersell lagi keranjingan tempe, 20 agustus2015-
"Kopi, harum namanya. Seperti Kartini."

Ucapmu pada suatu pagi di beranda rumah kita. Yang memang sengaja dibangun menghadap timur. Untuk bisa dipakai mandi cahaya sebelum mandi air.

Kemuning mulai mekar berlomba dengan hati. Bunglon pada batang sukun turut menguping obrolan kita meski sudah kupelototi.

"Kar, Kau tahu kalau mata bunglon bisa melihat berlawan arah?"

Tanyamu menengahi pertempuran mata antara aku dan bunglon.

"Maksudmu?"

Aku lantas melirik ke arahmu, ada jeda antara tanya dan jawab, tersebab kopi --yang mulai kehilangan panasnya akibat embun-- yang kau teguk.

"Iya, dua mata bunglon berada pada satu kepala tetapi arah pandang keduanya tidak selalu searah. Bisa berlawanan."

"Oh yah? Aku belum memperhatikan sejauh itu."

"Kar,"

"Apa?"

"Tidakkah kita bisa belajar dari bunglon,"

"Maksudmu?"

Aku kembali bertanya, lalu kembali ada jeda antara tanya dan jawab. Kali ini dipelopori oleh tarik-hembus nafasmu yang mengeluarkan uap-uap hangat.

"Kita, berada pada satu tubuh. Rumah tangga. Namun, sangat memungkinkan bagi kita untuk berbeda sudut serta cara pandang dalam menghadapi persoalan di sekitar "kepala" ini dan itu tidak berarti kita lantas tergesa mengucap kata pisah tiap ada masalah."

Aku terhenyak, kurasa kau tahu makna diamku kali itu. Tidak menampik.

Kau minta tambah kopi. Kutuang isi bejana ke cangkirmu. Menambahkan dua blok gula serta satu oz krimer. Terlalu manis bagiku yang hanya suka kopi hitam tanpa tambahan apapun. Rasa murni, pekat sekaligus jernih.

"Tidak terlalu manis?" Aku melihat raut wajahmu yang malah menyungging senyum.

"Tidak. Karena aku tahu ada yang lebih manis dari ini." Tuturmu.

"Apa?"

Kau lantas masuk ke dalam, menuju kamar. Dengan tergesa kau kembali menuju beranda rumah kita.

"Ini!!!"

Aku tersenyum simpul, kemudian tercengir kuda. Kopi hitam tanpa gulaku pun jadi terasa dipenuhi gula.

Source: Google



Bumi W,



Agustus 20, 2015

Wednesday, 12 August 2015

Monday, 3 August 2015

Banyak hal yang bisa meyakitkan
Misalnya rindu yang ditahan-tahan
Coba cari pelarian,
Menampikkan kenyataan
Berlarian di sisi jalan
Diteman bisik daun riang
Menuju kamu yang menjelma laut
Aku bilang kepadamu;
Awan sudah tidak mampu menahan uap
Kamu lekas menjawab;
Biarlah kalau memang begitu
Biarkan hujan
Bandar Lampung,
All day all night
© 2016 Peri Tinkersell

Friday, 3 July 2015

Kau penuh hasrat,
Panas dan beruap
Butir-butir peluh mengalir penuh derap

Mengkilat, tegak dan gagah
Kau sorong kiri-kanan
Menindih aku hingga engap

Tadinya kukusut
Apek tak bergairah

Karenamu,
Aku melicin dan melembut

Bandar Lampung,
3 Juli 2015

Banyak setrikaan, ngantuk.

Thursday, 2 July 2015

Dia hidup jika tersambung
Memutar rentangan baling sesukamu
Bisa pilih satu, dua, tiga atau nol jika mau

Udara dilerai jadi debu dan angin
Bintik coklat lekat menapak
Sesekali dia digantungi wangi
Bisa jeruk, apel atau lavender jika kamu mau

Panasmu sudah terburaikan?
Jangan laju mudah terbuai
Cabut dia!
Atau kau akan...
Dirasuki angin

Bandar Lampung,
2 Juli 2015

33 derajat celcius di Bumi Waras, Bung.

Wednesday, 1 July 2015

Dari mimpi semalam
Hijau mengawini merah,
menjulur menyamar jadi sirih
Melalui bumi dan tangkai bambu berbubuh
Ia berlalu seolah ke langit

Dari mimpi semalam
Rekah menggugah busur panah
Menusuk dua bilah hati yang hampir mati
Hatiku, hatimu

Tapi, aku tidak doyan hati
Mau ini punya ayam, sapi, kambing apalagi...
Aku tidak doyan hati

Bandar Lampung,
1 Juli 2015

Dipojokan
Aku menatapmu lekat
Pada ubin dingin yang manut pasrah tiap kali terinjak

Kau sibuk mematut diri pada cermin
Mengukur tiap inci keluruhan lemak
Engap, sesak apapun itu
Anggap saja angin selewat

Kau tindih aku kembali,
Ada banyak umpatan mengiring

"Ah, segini terus!"
Katamu,

Kau murka,
Aku terinjak

Bandar Lampung,
1 Juli 2015

Sedang begitu banyak yang melintas menjadi ide

Bagaimana bisa aku ada
Tanpa keramahan rangkulmu
Di balik siluet pohon, kapal dan kayu
Kamu tahu, aku tempe
Eh... bukan
Kamu tau?
Aku rela jadi gelap
Asal itu artinya, jadi bayangmu
Selalu bersamamu!


Bandar Lampung,
1 Juli 2015


Sangat ingin makan tempe.
MASIH tantangan.
Sumber foto: Koleksi Kawan.
Hangat,
Membalut hijau dengan kuning
Meninggalkan bulir bening
Jauh,
Terasa dekat
Kamu terus memikat
Aku menikmati hasil cintamu
Dalam segelas porselen putih
Rengkuh aku...
Segera!


Bandar Lampung,
1 Juli 2015


mau sahur, lagi minum teh.
masih tantangan, kamu baik-baik yah.

Sumber Foto: Koleksi Kawan.

Tuesday, 30 June 2015

Ketuk langkah kaki
Diiringi hati membumi
Payah susah tangan terentang
Keluh, keringat membeku jadi mantang
Pindah dari sisi ke sisi
Menuju apa-apa yang dinanti
Minat serupa jalur bentang
Luas, terbuka menantang
Ini, bukan soal tujuan
Ini, masalah perjalanan
Kemampuan bertahan
Sanggup?


Bandar Lampung,
30 Juni 2015


Masih tantangan, perjalanan menuju kiefcih untuk berbuka. Eh,What? Maaf atuh fastfood terus :( :)
Sumber foto: Koleksi pribadi
Dapat diucap melalui berbagai mahzab
Kau pinta secara megap-megap
Langkahmu berat, tanpa derap
Perkara kau,
Apa aku perlu bilang-bilang?
Jika aku mendoakan
Perkara aku,
Biar aku lakukan diam-diam
Mendoakanmu, lewat berbagai mahzab
Biar lembayung jadi payung
Sunyi menutup bunyi
Tentang doa yang diucap tersembunyi


Bandar Lampung,

30 Juni 2015
Masih terus memenuhi tantangan,
Sumber foto: instagram pribadi.