Pohon-pohon berlari ke belakang, melawan arah kenangan. Di balik kacamatanya, pandangan matanya redup. Lurus ke depan.
”Antar aku ke toko buku, tujuh hari lagi ya,” ajaknya seminggu lalu.
Kami saling menatap. Ia tersenyum. Aku tertulari. Senyum seraya mengkhayalkan kulit-kulit halus di balik jilbabnya. Sopir angkot dari tadi berupaya keras tak memedulikan kami berdua. Lalu, ia mengamati rambutku yang mengilat, dibelah dari samping. Kemeja kotak-kotak, ikat pinggang, celana katun, dan sepatu kulit hitamku.
”Ada apa?” Tanyanya.
”Ah, tidak.”
Kugenggam jemari tangan kirinya yang tertelungkup di atas pangkuannya. Roknya terulur hingga tumitnya. Jemari tangan kami mulai berpeluh! Dadaku gemetar.
Di dalam kamar sempit, bercelah kecil, aku suka berbaring.
”Maaf, aku belum pernah menyentuh tangan perempuan. Baru kali ini.”
”Aku juga. Baru disentuh kali ini.”
Begitulah pesan pendek di ponsel kami.
”Tapi,” imbuhnya, ”hanya kuserahkan segenggam buah anggur. Takkan kuberikan melon-melon di gunung-gunung itu, di dekat semak belukar berikut ilalang subur menawan. Kecuali, di tikungan jalan itu, kau merapatkan langit dan bumi, mata air kepada arusnya, laut kepada ombaknya, sungai kepada alirnya, serbuk sari kepada putik oleh angin atau beburung kesayanganmu di mana ikatan janji telah dikuatkan, seruling asmara telah ditiup di antara bisik-bisik 'amin' kepala-kepala manusia yang menyaksikannya.”
”Insya Allah,” kataku.
”Insya Allah,” jawabnya.
Tampines, November 2017
0 comments:
Post a Comment