Aku mematut diri pada cermin, di sana ada bayangan punggung dengan gores merah keunguan. Hadiah dari Ibu tadi Siang. Aku melakukan kesalahan lagi, yah lagi-lagi aku mampu dengan mudah membuatnya marah. Sebenarnya ini karena angka dalam lingkaran besar bertinta merah pada kertas lembar jawaban pilihan ganda, hasil ulangan akhir semester minggu kemarin. Tidak begitu buruk bagiku mendapatkan nilai delapan tapi Ibu menginginkan lebih. Kesempurnaan.
Sebenarnya Aku ingin menjerit tapi pada akhirnya hanya bibir yang mampu kugigit. Luka sabetan gantungan baju –yang akhirnya jadi korban karena patah- masih membekas dari kemarin saat aku menolak untuk tidur siang dan malah asyik menghitung butiran gundu sambil sesekali menyentilkan pada gundu lain di lantai ubin.
“Kamu mau jadi anak durhaka yang tidak pernah mau menuruti Orangtua, seperti kawanmu yang lain?”
Begitu lah selalu kalimat penutup khotbah Ibu. Aku sudah sangat hafal karena ini acapkali dilantunkan semenjak Aku mulai bisa berjalan dan merepotkan, menurut Ibu. Dan Ayah? Ah Aku rindu Ayah tapi beliau hampir tidak pernah di rumah. Sibuk pergi pagi pulang pagi atau bahkan tidak pulang samasekali. Sibuk mengais butiran rezeki.
*****
Pagi ini Aku bergegas pergi ke sekolah tanpa menunggu Ibu pulang dari Pasar. Sengaja saja, Aku sedang tidak ingin menambah coretan gambar pada punggung untuk pagi ini. Kalau-kalau saja Ibu kembali melihat ketidaksempurnaan pada diriku, Aku takut.
Kususuri jalan setapak kerikil berdebu menuju Sekolah. Tidak ada yang istimewa, hanya saja udara terasa lebih anyir dari biasanya, angin laut tak pernah sesendu ini dalam penciumanku. Debur ombak juga terdengar, tentu saja, karena jalan ini dengan pantai hanya dipisahkan oleh sederetan rumah nelayan. Pantai selalu paling memahami aku. Ia tak letih memainkan lagu melalui deburan ombak pada karang-karang di pagar Laguna. Lagunya kadang senang kadang sedih, ikut-ikut suasana hatiku. Tapi lebih sering sedih, yah seperti Aku bilang, Ia ikut-ikut suasana hatiku.
*****
Ibu Fatmah menatapku dengan penuh tanya juga curiga. Aku hanya senyum disambung mencium punggung tangan Beliau.
"Ada masalah lagi, Qayyah!?"
Sebenarnya aku ingin bilang "iya" dan menceritakan sebab-sebab rintihan yang Aku telurkan saat sesekali walikelasku ini mengelus pundak atau punggungku jika Aku berhasil memecahkan soal aritmatika di papan tulis atau aku ingin juga berkeluh-kesah perihal sumber kesenduan pada sorot mataku saat beliau menerangkan perbedaan prosa, puisi, pantun atau sajak.
Aku ingin tapi adalah hal yang mustahil ketika mendadak terdengar kegaduhan di halaman sekolah dan seorang wanita terdengar berteriak memanggil nama seseorang.
Aku memasang telinga dengan awas demi menajamkan pendengaran. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih. Karya hujan yang didukung oleh atap bocor. Tapi, pagi-pagi begini aku nyatanya terpaksa menelan pil pahit. Aku masih berdiri di ambang pintu kelas dan masih mendengar teriakan tadi. Teriakkan itu menggaungkan sebuah nama,
"QAYYAHHHH!!!!!!!"
Yah, itu lah namaku dan Kau pasti bisa tebak siapa yang berteriak itu kan? Benar, itu suara Ibu.
Entah apa yang dibicarakan antara Ibu dan Bu Fatmah yang jelas kulihat raut wajah cemas dari wali kelasku itu. Sebelum keburu Ibu mengamit tanganku untuk diseret pulang, Bu Fatmah masih sempat mendekatiku dan berbisik lembut "Allah bersama orang-orang yang sabar". Kemudian dibelainya kerudung coklatku. Aku hanya mampu merekayasa senyum. Sambil mencium punggug tangan Beliau dengan khidmat. Entah mengapa, Aku khawatir ini yang terakhir.
Sesampainya di rumah Ibu langsung mengunci pintu dan mencabut kunci dari gagang pintu untuk kemudian dimasukkan dalam saku. Sepanjang jalan tadi Ibu hanya diam berusaha menunjukkan suasana biasa pada tetangga. Dan aku hanya bisa membaca-baca doa selamat dunia akhirat serta zikir pendek seperti yang diajarkan Abi Mukmin pada pengajian setiap sore di Masjid.
"Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar," kuingat terus jurus tenang dari Bu Fatmah.
Ibu yang tadi langsung masuk ke kamarnya kemudian keluar lagi membawa sebatang lilin dan korek api yang aku belum tahu akan digunakan untuk apa karena sekarang masih pagi dan sedang tidak padam listrik.
"Hidupkan lilin ini dan letakkan di lantai,"
"Iya, Bu."
Aku turuti perintah beliau dengan sedikit gugup, Aku selalu merasa takut di dekat Ibu. Kawan-kawan selalu bercerita tentang kebaikan Ibu mereka dan itu tidak ada pada Ibuku. Guru-guru di sekolah tak lelah mengingatkan keutamaan berbakti pada Ibu dan aku tidak pernah kurang apa pun dalam membakti, kurasa. Abi di tempat mengaji acapkali mengingatkan untuk tak lupa mendoakan Ibu tapi Aku? Aku bahkan selalu merasa doa-doaku untuk diri sendiri saja selalu tak cukup menggugah hati Tuhan.
"Letakkan tanganmu di atas api itu?"
"Tapi, Bu.."
"Jangan membantah, Ibu tadi bilang tunggu ibu pulang dari Pasar, sekarang Anak Ayam Kita hilang dua ekor karena Kamu tidak mengunci kandang."
"Maaf, Bu..."
Aku baru ingat tentang kandang berisi ayam di halaman belakang, aku memang lupa menguncinya karena pagi hari mereka biasa dibiarkan keluar mencari udara segar.
Aku mengiba-iba untuk dimaafkan tapi ini memang tampak seperti menegakkan benang basah (satu istilah yang kusuka dari Bu Fatmah) mengingat tabiat Ibu.
"Kau ingin menjadi anak durhaka seperti kawan-kawanmu yang lain?"
Demikian lah kalimat penutup khotbah Ibu, itu artinya aku mesti bersiap memanggang tangan. Entah sampai kapan. Dan kini pun Aku mulai mengantuk. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih.
Tampines, Agustus 2017
0 comments:
Post a Comment