"Kopi, harum namanya. Seperti Kartini."

Ucapmu pada suatu pagi di beranda rumah kita. Yang memang sengaja dibangun menghadap timur. Untuk bisa dipakai mandi cahaya sebelum mandi air.

Kemuning mulai mekar berlomba dengan hati. Bunglon pada batang sukun turut menguping obrolan kita meski sudah kupelototi.

"Kar, Kau tahu kalau mata bunglon bisa melihat berlawan arah?"

Tanyamu menengahi pertempuran mata antara aku dan bunglon.

"Maksudmu?"

Aku lantas melirik ke arahmu, ada jeda antara tanya dan jawab, tersebab kopi --yang mulai kehilangan panasnya akibat embun-- yang kau teguk.

"Iya, dua mata bunglon berada pada satu kepala tetapi arah pandang keduanya tidak selalu searah. Bisa berlawanan."

"Oh yah? Aku belum memperhatikan sejauh itu."

"Kar,"

"Apa?"

"Tidakkah kita bisa belajar dari bunglon,"

"Maksudmu?"

Aku kembali bertanya, lalu kembali ada jeda antara tanya dan jawab. Kali ini dipelopori oleh tarik-hembus nafasmu yang mengeluarkan uap-uap hangat.

"Kita, berada pada satu tubuh. Rumah tangga. Namun, sangat memungkinkan bagi kita untuk berbeda sudut serta cara pandang dalam menghadapi persoalan di sekitar "kepala" ini dan itu tidak berarti kita lantas tergesa mengucap kata pisah tiap ada masalah."

Aku terhenyak, kurasa kau tahu makna diamku kali itu. Tidak menampik.

Kau minta tambah kopi. Kutuang isi bejana ke cangkirmu. Menambahkan dua blok gula serta satu oz krimer. Terlalu manis bagiku yang hanya suka kopi hitam tanpa tambahan apapun. Rasa murni, pekat sekaligus jernih.

"Tidak terlalu manis?" Aku melihat raut wajahmu yang malah menyungging senyum.

"Tidak. Karena aku tahu ada yang lebih manis dari ini." Tuturmu.

"Apa?"

Kau lantas masuk ke dalam, menuju kamar. Dengan tergesa kau kembali menuju beranda rumah kita.

"Ini!!!"

Aku tersenyum simpul, kemudian tercengir kuda. Kopi hitam tanpa gulaku pun jadi terasa dipenuhi gula.

Source: Google



Bumi W,



Agustus 20, 2015