Thursday, 9 November 2017



©Asril Tanjung Arasyid


Sebagai makhluk yang susah dimengerti versi manusia, Sella susah juga punya partner yang klik lahirriyah dan batinniyah. Sama Teh Anita yang pernah tinggal bersama aja kadang suka bergesekkan pendapat. Nah, Salah satu dari sedikit partner klik ini adalah...yah siapa Dia, yang sudah cukup sering di ketik namanya dalam blog Sella. Hari ini Sella khususon membahas Dia,


Asril Tanjung Bin Muhammad Rasid


Yup, Kang Aciel adalah mantan "Suami" Sella dan Yuval, dalam komedi #AIWA yang alhamdullillah udah Sella bubarkan pada tahun 2015. Pria jebolan Bandung pada 29 September 1991 ini adalah bungsu dari 3 bersaudara. Jadi bisa dipastikan, Kang Aciel ini kesayangan Teteh-Tetehnya. Mungkin itu juga sebab mengapa masih lajang hingga kini. Masih dianggap imut dan susah dilepas untuk mengarungi dunia luar rumah. Mungkin.

Kang Aciel ini keturunan Minang. Dengan tinggi tubuh sekitar 15-20 cm lebih tinggi dari Sella. Tapi kenapa matanya sipit kayak China? Sella juga gak tau, tapi Sella rasa itu diturunkan dari Mamah Yunidar (And this remind me of my grandma's name from Ayah, Asnidar). Tapi Akang gak putih China kok, but he said my skin is dark. Padahal Sella punya kulit walau gak putih yah gak item juga sih. Lah jadi curcol.

Istimewanya Kang Aciel apa sih? Heum, kayaknya memang mesti kenal langsung deh baru bisa tau istimewanya~ Percayalah, Kang Aciel gak "semurtad" keliatannya. Ia hanya mencintai Tuhan dengan cara yang sedikit khusus. But, terlepas dari kurang dan lebihnya Dia sebagai makhluk, yang penting klik ke Sella. The basic of our partnership is "Nyambung". Bagi Sella, nyambung adalah keutamaan. Karena ini jadi dasar untuk komunikasi juga, kalau gak nyambung, cemmana pulak nak berbual, kan?

Jadi gini, hari ini Sella lagi in the mood to write. Dan Akang baca, yang kemudian Sella jadi baca juga tulisan Akang. Honestly, this is first time for me feeling up and down at once. Tulisan-tulisan Akang tuh magis. Sampai kepikiran eta otak sama hati yang bersayam pada raga Kang Aciel kok Keren banget, Cinta dah gue. I can't explain, Kamu bakal tau kalau Kamu baca. Sayangnya, itu tulisan istimewa anet. Di-setting khusus dong pembacanya. Tapi ada yang melekat banget di alam fikir Sella. Gapapa deh Sella kasih buat Kamu,


"...Ia selalu menerorku, bahkan walau tau bahwa Ia itu misteri..."


Kata-kata ini sangat menggetarkan si Hati. Mengusir sang rasa khawatir juga membuat mesrah bibir berdzikir. Senada dengan tulisan pendek Sella di Facebook. Menanggapi kekhawatiran diri pada Masa Depan. Masa Depan yang mana coba? Yah yang katanya Surga-Neraka tea lah.

Dah kalau masa depan sama Kamu mah itu cuma testing, cuma bentar. Kayaknya aja lama, padahal 1 hari di akhirat sama dengan...

Nb:
- Bagi yang minat ke Kang Aciel, bisa tanya-tanya Sella. Insyallah kalau cocok di Sella, cocok juga di Akang. Hahahahaha.

- Eta pakai photo lama, kalau mau lihat photo terbarunya bisa lihat di Akun Facebook-nya Akang weh nyak, gini nih kalau promo gak dibayar.

© 2017 PERI TINKERSELL


Udah dulu yah, I need take a nap. Ujan pulak.
Salam mangga Thailand~



Tampines, November 2017

Wednesday, 8 November 2017

Ibu

Aku mematut diri pada cermin, di sana ada bayangan punggung dengan gores merah keunguan. Hadiah dari Ibu tadi Siang. Aku melakukan kesalahan lagi, yah lagi-lagi aku mampu dengan mudah membuatnya marah. Sebenarnya ini karena angka dalam lingkaran besar bertinta merah pada kertas lembar jawaban pilihan ganda, hasil ulangan akhir semester minggu kemarin. Tidak begitu buruk bagiku mendapatkan nilai delapan tapi Ibu menginginkan lebih. Kesempurnaan.

Sebenarnya Aku ingin menjerit tapi pada akhirnya hanya bibir yang mampu kugigit. Luka sabetan gantungan baju –yang akhirnya jadi korban karena patah- masih membekas dari kemarin saat aku menolak untuk tidur siang dan malah asyik menghitung butiran gundu sambil sesekali menyentilkan pada gundu lain di lantai ubin.


“Kamu mau jadi anak durhaka yang tidak pernah mau menuruti Orangtua, seperti kawanmu yang lain?”

Begitu lah selalu kalimat penutup khotbah Ibu. Aku sudah sangat hafal karena ini acapkali dilantunkan semenjak Aku mulai bisa berjalan dan merepotkan, menurut Ibu. Dan Ayah? Ah Aku rindu Ayah tapi beliau hampir tidak pernah di rumah. Sibuk pergi pagi pulang pagi atau bahkan tidak pulang samasekali. Sibuk mengais butiran rezeki.

*****

Pagi  ini Aku bergegas pergi ke sekolah tanpa menunggu Ibu pulang dari Pasar. Sengaja saja, Aku sedang tidak ingin menambah coretan gambar pada punggung untuk pagi ini. Kalau-kalau saja Ibu kembali melihat ketidaksempurnaan pada diriku, Aku takut.

Kususuri jalan setapak kerikil berdebu menuju Sekolah. Tidak ada yang istimewa, hanya saja udara terasa lebih anyir dari biasanya, angin laut tak pernah sesendu ini dalam penciumanku. Debur ombak juga terdengar, tentu saja, karena jalan ini dengan pantai hanya dipisahkan oleh sederetan rumah nelayan. Pantai selalu paling memahami aku. Ia tak letih memainkan lagu melalui deburan ombak pada karang-karang di pagar Laguna. Lagunya kadang senang kadang sedih, ikut-ikut suasana hatiku. Tapi lebih sering sedih, yah seperti Aku bilang, Ia ikut-ikut suasana hatiku.

*****

Ibu Fatmah menatapku dengan penuh tanya juga curiga. Aku hanya senyum disambung mencium punggung tangan Beliau.

"Ada masalah lagi, Qayyah!?"

Sebenarnya aku ingin bilang "iya" dan menceritakan sebab-sebab rintihan yang Aku telurkan saat sesekali walikelasku ini mengelus pundak atau punggungku jika Aku berhasil memecahkan soal aritmatika di papan tulis atau aku ingin juga berkeluh-kesah perihal sumber kesenduan pada sorot mataku saat beliau menerangkan perbedaan prosa, puisi, pantun atau sajak.

Aku ingin tapi adalah hal yang mustahil ketika mendadak terdengar kegaduhan di halaman sekolah dan seorang wanita terdengar berteriak memanggil nama seseorang.

Aku memasang telinga dengan awas demi menajamkan pendengaran. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih. Karya hujan yang didukung oleh atap bocor. Tapi, pagi-pagi begini aku nyatanya terpaksa menelan pil pahit. Aku masih berdiri di ambang pintu kelas dan masih mendengar teriakan tadi. Teriakkan itu menggaungkan sebuah nama,


"QAYYAHHHH!!!!!!!"

Yah, itu lah namaku dan Kau pasti bisa tebak siapa yang berteriak itu kan? Benar, itu suara Ibu.
Entah apa yang dibicarakan antara Ibu dan Bu Fatmah yang jelas kulihat raut wajah cemas dari wali kelasku itu. Sebelum keburu Ibu mengamit tanganku untuk diseret pulang, Bu Fatmah masih sempat mendekatiku dan berbisik lembut "Allah bersama orang-orang yang sabar". Kemudian dibelainya kerudung coklatku. Aku hanya mampu merekayasa senyum. Sambil mencium punggug tangan Beliau dengan khidmat. Entah mengapa, Aku khawatir ini yang terakhir.


Sesampainya di rumah Ibu langsung mengunci pintu dan mencabut kunci dari gagang pintu untuk kemudian dimasukkan dalam saku. Sepanjang jalan tadi Ibu hanya diam berusaha menunjukkan suasana biasa pada tetangga. Dan aku hanya bisa membaca-baca doa selamat dunia akhirat serta zikir pendek seperti yang diajarkan Abi Mukmin pada pengajian setiap sore di Masjid.

"Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar," kuingat terus jurus tenang dari Bu Fatmah.
Ibu yang tadi langsung masuk ke kamarnya kemudian keluar lagi membawa sebatang lilin dan korek api yang aku belum tahu akan digunakan untuk apa karena sekarang masih pagi dan sedang tidak padam listrik.

"Hidupkan lilin ini dan letakkan di lantai,"

"Iya, Bu."

Aku turuti perintah beliau dengan sedikit gugup, Aku selalu merasa takut di dekat Ibu. Kawan-kawan selalu bercerita tentang kebaikan Ibu mereka dan itu tidak ada pada Ibuku. Guru-guru di sekolah tak lelah mengingatkan keutamaan berbakti pada Ibu dan aku tidak pernah kurang apa pun dalam membakti, kurasa. Abi di tempat mengaji acapkali mengingatkan untuk tak lupa mendoakan Ibu tapi Aku? Aku bahkan selalu merasa doa-doaku untuk diri sendiri saja selalu tak cukup menggugah hati Tuhan.

"Letakkan tanganmu di atas api itu?"

"Tapi, Bu.."

"Jangan membantah, Ibu tadi bilang tunggu ibu pulang dari Pasar, sekarang Anak Ayam Kita hilang dua ekor karena Kamu tidak mengunci kandang."

"Maaf, Bu..."

Aku baru ingat tentang kandang berisi ayam di halaman belakang, aku memang lupa menguncinya karena pagi hari mereka biasa dibiarkan keluar mencari udara segar.
Aku mengiba-iba untuk dimaafkan tapi ini memang tampak seperti menegakkan benang basah (satu istilah yang kusuka dari Bu Fatmah) mengingat tabiat Ibu.


"Kau ingin menjadi anak durhaka seperti kawan-kawanmu yang lain?"

Demikian lah kalimat penutup khotbah Ibu, itu artinya aku mesti bersiap memanggang tangan. Entah sampai kapan. Dan kini pun Aku mulai mengantuk. Ya Tuhan, Aku harap ini mimpi dan setelah Aku kembali membuka mata Aku akan melihat langit-langit kamar yang sudah begitu penuh gambar abstrak warna coklat yang kontras dengan warna plafon putih.


Tampines, Agustus 2017

Sayang kita tak pernah sempat. Menyisakan sebuah ciuman untuk seluruh cerita yang entah. Meski disesali atau hanya sekedar dicatat. Tahu tahu pagi sudah merapat. Kau mesti berangkat, dan Aku merapikan bangkai kenangan yang tak boleh dirawat lantaran terlanjur laknat. Dan inilah saat yang paling gawat; memandang Kau di muka pintu. Merapikan rambut dan menyusun semacam kalimat perpisahan, lalu tersenyum (agar kita tampak bahagia?).

Setelah itu, punggungmu akan menjauh. Sedang Aku berpura-pura sibuk seolah ada yang harus segera kuselesaikan. Selain menunggu peristiwa ini berulang dan nanti, kalau kebetulan kita bertemu dan merasa percuma, sudah kusiapkan bisikan untukmu “Kita hanyalah sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi". Percayalah, kalimat pedih itu akan membuat kita punya alasan untuk sekadar melupakan pahitnya nenanggung ingatan.

Bandung, January 2016

Pohon-pohon berlari ke belakang, melawan arah kenangan. Di balik kacamatanya, pandangan matanya redup. Lurus ke depan.

”Antar aku ke toko buku, tujuh hari lagi ya,” ajaknya seminggu lalu.

Kami saling menatap. Ia tersenyum. Aku tertulari. Senyum seraya mengkhayalkan kulit-kulit halus di balik jilbabnya. Sopir angkot dari tadi berupaya keras tak memedulikan kami berdua. Lalu, ia mengamati rambutku yang mengilat, dibelah dari samping. Kemeja kotak-kotak, ikat pinggang, celana katun, dan sepatu kulit hitamku.

”Ada apa?” Tanyanya.

”Ah, tidak.”

Kugenggam jemari tangan kirinya yang tertelungkup di atas pangkuannya. Roknya terulur hingga tumitnya. Jemari tangan kami mulai berpeluh! Dadaku gemetar.

Di dalam kamar sempit, bercelah kecil, aku suka berbaring.

”Maaf, aku belum pernah menyentuh tangan perempuan. Baru kali ini.”

”Aku juga. Baru disentuh kali ini.”

Begitulah pesan pendek di ponsel kami.

”Tapi,” imbuhnya, ”hanya kuserahkan segenggam buah anggur. Takkan kuberikan melon-melon di gunung-gunung itu, di dekat semak belukar berikut ilalang subur menawan. Kecuali, di tikungan jalan itu, kau merapatkan langit dan bumi, mata air kepada arusnya, laut kepada ombaknya, sungai kepada alirnya, serbuk sari kepada putik oleh angin atau beburung kesayanganmu di mana ikatan janji telah dikuatkan, seruling asmara telah ditiup di antara bisik-bisik 'amin' kepala-kepala manusia yang menyaksikannya.”

”Insya Allah,” kataku.

”Insya Allah,” jawabnya.

Tampines, November 2017

Friday, 30 June 2017

COPYRIGHT © 2017 PERI TINKERSELL


Maapkan Saya yang pemalas namun perhatian ini, blog. Saya sering liat kamu kok tapi kagak buat postingan. Hihihi.

Oke, Jadi gini, udah beberapa (halaaah sok lama) Saya jadi TKI 😂 dengan niat dedikasi buat Ayah (there's something I promise to Allah) dan ngegapai Salah satu list impian sejak kecil (dapet dolar buat ngegendutin tabungan itu adalah bonus).

Salah satu cita-cita Saya sejak kecil (selain jadi Putri Indonesia):

Menetap (beberapa saat) di LN.

Menetap yah, bukan (sekedar) jalan-jalan. Karena kalau jalan-jalan itu kayak pacaran, cuma tau indah-indahnya doang, manis-manisnya aja dan kemudian pisah. Sedangkan menetap itu kayak nikah, jadi tau baik buruknya, kebiasaan-kebiasaan kesehariannya, yang gak cuma manis aja tapi kadang juga pahit.

Seiring berjalannya waktu Saya bingung, kemampuan apa yang bisa membawa Saya terbang ke negeri orang? Kalau untuk sekolah, pas-pasan lah malas juga hahahaha. Berarti Harus kerja dong? Nah, kerja apa? Jadi chef pun kemampuan Saya belum memenuhi walau orang lain liatnya saya lumayan bisa (masak indomie pun bisa jadi skutel, wkwkwkwkw).

Tau kan, Allah memberi kemudahan setelah kesulitan? Allah selalu beri hikmah di balik tiap kejadian?

Pasca operasi Ayah tahun lalu, Kamu yang baca-baca postingan Saya sebelum ini pasti tau tentang Mas Dian. Doi ini perawat home care-nya Ayah, dengan sabar telaten dan penuh kasih ngerawat Ayah. Ganti-gantiin perban sampai nyabutin benang. Dari situ saya mulai tergerak untuk mendedikasikan diri pada bidang yang mirip. So, here I'm now as a caregiver 😉
Udah yah mblog, nanti-nanti lagi kita bermesraannya. Dan Selamat LEBAR(an) yah guys. *Ala-ala seleb yang lebarannya pada jalan-jalan ke LN* *Mabok TL IG*

*Nb: Profesi-nya aja sebagai "pemberi perhatian" apalagi ke kamu #eeeeaaaa
-Belum berani pisah Dari Ayah terlalu jauh*

Tampines, June 30th 2017

Thursday, 19 January 2017

Belakangan ini, Ibu-Ibu se-Indonesia Raya lagi pada syebel. Gimana enggak, Menteri Pertanian soalnya mengajak Buibu untuk ngurangin gosip dan mendingan mengalokasikan waktu yang biasanya buat gosip menjadi waktu yang dipakai buat menanam cabai, melalui media nasional.


Lah, terus syebelnya dimana?

"Kalau ibu-ibu bisa kurangi ngegosip lima menit sehari dan digunakan menanam cabai lima pohon, maka tuntas sudah persoalan cabai. Lima pohon itu sudah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga sampai beberapa bulan," ucap Mentan.

Ini yah, kita perlu banget ngegaris bawahi inti dari Pak Menteri ini biar gak gagal paham, dengan lima menit sehari yang diluangkan Buibu se-Indonesia Raya maka persoalan cabai bisa tuntaaaaaas???

Baiklah, yang jadi pertanyaan Saya:

Apakah Istri Pak Mentan menanam cabai juga di rumah?

Foto Sella Selvana Sembiga.
Hasil panen di pekarangan. Copyright © 2017 Peri Tinkersell

Kalau iya, mungkin ada banyak sekali pohon cabai --yang artinya banyak pula lahan yang digunakan untuk media tanam-- yang ada di pekarangan rumah Pak Mentan. Pasalnya, persoalan kebutuhan cabai di rumah Pak Mentan bisa teratasi. Karena sepengalaman Saya, dari pembibitan biji-biji hingga pohon cabai bisa berbunga untuk pertama kalinya itu membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 bulan. Setelahnya, bisa kita panen seminggu hingga dua minggu sekali. Dan sebagai petani "amatiran alakadarnya" adalah hal yang sangat mungkin Buibu merawat tanaman cabai-cabaian ini dengan tidak optimal. Misal, tidak memberikan pupuk tambahan. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap hasil panen yang di dapat, bisa banyak bisa pula sedikit.

Seperti contoh, yang di atas ini adalah hasil panen cabai rawit di pekarangan kediaman Saya (sekalian juga ada tanaman rampai di sana). Yang di foto itu hasil panen atas dua buah pohon, yang satu, jenisnya cabai rawit putih, satu lagi cabai rawit burung. Untuk serkali panen yah sekali nyambel juga habis.

Jadi, bayangkan, Buibu Indonesia mesti punya lahan berapa luas perkepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan cabai dalam rumah tangga setiap harinya? Kan sudah jadi rahasia umumlah kalau cabai di Indonesia tuh sudah seperti makanan pokok. 

Kalau tahu harga cabe mahal yah gak usah beli, gampangkan? Hellow, kalau tau ngasih solusi buat Negeri itu susah yah gak usah ngejabat, gampangkan? 

Taruhlah dalam sehari kita menggunakan cabai satu pohon, berarti paling tidaknya kita mesti punya tujuh pohon cabai (Pak, Bapak kurang dua pohon, Pak.) di pekarangan jika cabai kita bisa panen setiap minggu perpohonnya. Itu baru cabai rawit, belum cabai merah juga cabai gendot. Alamak, belum lagi waktu yang digunakan untuk mengurusnya. Plis deh, tanaman juga bagai anak. Tau kan iklan kecap yang ada bahasan tentang pohon kedelainya di kebun? Iya, tanaman itu bukan cuma bijinya kamu taruh di tanah, kamu siram terus tinggal nunggu besar dan berbunga kemudian berbuah. ENGGAK

Tanaman juga punya resiko terkena penyakit, hama dan gangguan hewan-hewan. Jangan lupa juga, tangan-tangan jahil manusia. Dan itu sungguh, butuh waktu lebih dari LIMA MENIT buat mengurusnya. 

Oh yah, semoga istrinya Pak Menhan memang udah menanam cabai juga yah di pekarangan kediaman Beliau.

Ayo Bu, tanem deh tanem. Kita tunjukkan bahwa Ibu-Ibu Indonesia bukan cuma bisa ngegosip. Kita juga bisa FB-an, instagramable-an, twitter-an, ngeblog dan nanem cabe. Ah.


B. Lampung, 18 Januari 2017


Maih sibuk nanggulangin daun cabe yang meringkel

Thursday, 29 September 2016


Beberapa orang sependapat bahwa jodoh adalah orang yang ada di lingkungan kita, bisa jadi dia adalah orang terdekat kita. Atau sahabat? Mereka tentu saja setuju dengan beragam contoh seperti Rasulullah S.W.A. dan Siti Khadijah R.A. atau Fatimah dan Ali. Nabi Sulaiman A.S. dan Ratu Bilqis pun begitu, memang Negerinya berjauhan. Namun Beliau sama-sama seorang pemimpin dari Negerinya, kan? Beliau-beliau ini berada pada satu frekuensi lingkungan. Apakah itu sudah cukup meyakinkanmu?

Baiklah, jika memang jodoh adalah orang yang ada di lingkungan kita, bisa jadi dia adalah orang terdekat kita. Atau sahabat? Maksudku, Apakah dia adalah orang yang selalu tampak baik dihadapan kita? Atau musuhmu sekarang mungkin saja memiliki peluang untuk menjadi jodohmu. Fakta ini bisa jadi membuatmu takut, bisa juga penasaran. Kisah-kisah yang biasa muncul dalam drama-drama korea atau ftv-ftv lokal ternyata bisa saja benar terjadi di sekitar kita.

© 2012 Peri Tinkersell
Adalah seorang gadis yang berada pada usia akhir fase psikologi perkembangan masa untuk berpasangan, memiliki impian besar tentang Negeri Mesir, bukan saja jatuh cinta pada ketenangan sungai Nill, bukan pula mendamba hiruk-pikuk Kairo dan juga bukan karena terprovokasi oleh kisah-kisah Habiburrahman EL Shirazy. Baginya, Mesir adalah tanah impian, tanah yang paling kondusif untuk mengembangkan kemampuan bahasa Arabnya. Negeri yang memiliki frekuensi yang sama dengan dirinya, kucing pada satu sisi dan singa pada sisi lain.

Pada bingkai kehidupan yang lain, seorang pria yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren, sedang menikmati masa-masa akhir pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Setelah bercerai dengan istri yang baru saja tiga bulan ia imami dan juga setelah ibunya wafat, rasanya tidak terlalulah perlu untuk kembali ke tanah kelahirannya. Jika seseorang berkata bahwa seorang Ibu dan seorang Istri adalah sayap kiri dan kanan bagi seorang pria, maka pria ini sudah tidak memiliki sayap. Sementara waktu bergulir mendekati Agustus, bulan kelulusannya, sementara itu juga ia makin risau. Bukanlah pilihan mudah antara menetap atau pulang jika dirimu burung yang tak bersayap.

Apakah mereka berjodoh? Entahlah, mereka bukan sepasang teman, kurang juga tepat disebut musuh. Tidak pernah satu sekolah atau kampus. Tapi, takdir membawa mereka pada satu jalan. Jalan yang bisa dilalui darimana saja. Entah melalui ibu dan saudari sang pria pada masa lampau, melalui media sosial dan pekerjaan pada masa kini atau melalui tangan Tuhan pada masa depan.


"Akadnya kamis, resepsinya minggu..." Mas Dian ngasih tau jadwal sambil elus tengkuknya.

"Ih aku mah yah ngeliat tetangga hajatan aja kemaren, udah capek duluan. Mondar-mandirlah, nanyain ini panci siapa itu kenceng siapalah." Sella dari awal udah ngasih keluhan duluan.

"Ya namanyakan kebiasaan keluarga, oh yah tar diajarin basic perawatan keluarga. Bisakan?"

"Euhm bisa...percaya aku bisa?"

"Percaya."

Mas Dian tentu harus percaya bahwa Sella bisa dilepas buat ngerawat Ayah. Dengan tuntunannya dari jauh saja. Karena landasan dari setiap hubungan adalah kepercayaan. Omong-omong, yang dibahas adalah pernikahan Abangnya Mas Dian dengan Istrinya. Bukan pernikahan antara dua orang yang ngobrol diatas.


B. Lampung 28 September 2016

Sunday, 25 September 2016



Pada jum'at malam menuju sabtu, setelah memutuskan sambungan internet dan mematikan gadget, saya berdiskusi dengan Ibundohara Negara Lastari. Kami membahas tentang Anggaran Belanja esok hari. Mempertimbangkan dengan matang Apakah mesti belanja di Pasar Kangkung atau Pasar Panjang. Dilema sekali. Setelah mengalami diskusi panjang akhirnya ditutuplah rapat malam itu. Saya yang belum ngantuk padahal sudah jam 12an malam, mulai membuka bahasan rumpi, biasalah, cewek.


"Tendanya jadi dipasang di depan rumah Pak RT Bund, bukan di Lapangan Sherly."
"Lah kok jauh amat, entar dandannya dimana?"
"Rumah Wak Ujang paling, kan jadi pelaminan di situ."


Kami rempong ngebahas tentang persiapan resepsi nikah. Bukan pernikahan saya tentunya, melainkan tetangga. Tetiba, saya capek ngomongin orang, takut jadi gosip. Maka saya coba alihkan bahasan.


"Tar Sella kalo nikah gak mau pake orgenan gitu yah Bund. Prasmanan aja udah gitu."
"Emang udah ada yang mau? Jangan ketuaan, kasian tar kalo punya anak."


Si Sella panas sendiri, hahaha. Sella jelasin kalo mau nikah yang tanpa pake acara pacar-pacaran. Lelah hati adek bang. Kemudian, demi menghibur saya -- ge-er-nya saya aja kali yah-- Ibund mulai cerita tentang masalalu Beliau.


"Pacar gua dulu yah ganteng-ganteng. Pokoknya Ayah lo itu sabotase aja. Gak bener caranya."


Saya mulai nyimak dan beralih perhatian dari soal jodoh kapan datang. Oh yah, kalau di daerah tempat saya tinggal, adalah hal biasa ortu pake bahasa prokem ke anak. Bahkan beberapa temen saya juga melakukan sebaliknya. Temen-temen saya yang lainnya yang di Bandung, utamanya, sering salah sangka Ibund marah atau apa kalo lagi ngomong ke saya, padahal enggak.. Harap maklum yah :D Terus Ibund lanjutin ceritanya,

"Pernah yah, gua lagi diapelin sama orang jaseng. Cuma ada jeruk satu, yaudah gua buatin eh Ayah lo juga ada di sana. Gua cuma kasih ke Aa jaseng aja minumnya, si Benny bukannya pergi malah tetep di situ. Kebayang gak sakitnya?"

Saya ngakak gak tahan, sambil jawab iya pasti sakit banget.

"Pernah juga ada cowok yang nraktir gua makan mie ayam, di depan warung bude (ibu dan dua saudaranya buka warung nasi uduk sebrangan sama ayah yang buka warung padang ama saudara-saudaranya juga di gerbang Pelabuhan Panjang yang sekarang udah ditutup.) eh Ayah lo dateng masih megang saringan kelapa, bilangnya mau ngasih bubur kacang ijo."

Ibundo sedang bersabda :D © 2016 Peri Tinkersel

"Terus lagi, sebenernya gua kan masih pacaran sama sodaranya ayah pas ayah ngajak nikah. Eh ada lagi lo yang gila, pas udah sebar undangan nikah, Benny tuh tau-tau bilang nikahnya ditunda sampe ada surat balasan dari kakek (kakek Bakhtiar, Bapaknya Ayah). Yaudah gua marahlah, gua pulang ke rumah nenek (nenek Darmi, Emaknya Ibund) eh pas gua udah sampe kampung (jaraknya sekitar 100km dari domisili ayah ibund waktu dulu) eh Ayah lo tau-tau udah tidur di tempat nenek. Masih pake baju masak, malu-maluin gua aja."

Kalau kamu ada dikamar bareng saya dan Ibund malam tadi, pasti kamu gak berenti ketawa.

"Eh tau gak kenapa kita pas itu pindah ke Kebun Pisang? Gara-gara pacar gua yang sudaranya Ayah itu dateng ke rumah kita yang di Kampung Baru, gak tau kalo ibu udah nikah, padahal Monik (anak ketiga, saat itu saya kelas 2 sd) udah lahir yah, ngajak ngobrol padahal dia nunggu aja di jendela. Gua bilang mau tidur siang. Eh tetangga ada yang bilang ke Ayah, Ayahnya marah langsung hari itu juga nyari rumah. Besoknya langsung pindahkan."

Tentang cerita ini, saya juga baru tau. Saya masih gak bisa berenti ngakak sampe nangis jadinya.

"Lo, kenapa nangis? Abis ditolak juga yah?"
"Ih gak. Haha gak tau juga kenapa nangis. Jadi ayah orangnya cemburuan banget yah Bund?" Saya mengelak pertanyaan Ibund.
"Iya parah banget, tapi terlalu cinta gitu malah nyusahin pasangan lah. Bikin gak nyaman."

Malam udah mau pagi saja. Jam dinding udah nunjukin pukul 2.40 pagi. Kami mutusin buat tidur walau bentar. Banyak hal yang kami bagi, banyak hal yang kami dapat.

Tapi yang Ibund belum tahu sampai saat ini adalah alasan saya nangis. Saya nangis bukan karena ditolak cowok atau apa. Saya terharu, saya tau-tau jadi rindu kamu, kamu yang masih samar. Saya memfavoritkan Ayah saya dalam perjuangan hidup Beliau, termasuk perjuangan cinta yang menurut Ibund nyusahin pasangan. Saya sama seperti Ayah, suka "gila" dalam menunjukkan cinta. Yang, jarang bisa kami ungkap lewat kata. Lebih suka nunjukin lewat perbuatan yang kadang gak masuk akal dan terkesan maksa. Semoga kamu nanti tahan, siapa tau saya gak bisa mengendalikan diri, menyuguhkan kamu cinta yang bikin susah. Susah untuk pisah :p

B.Lampung, 24 septermber 2016

Friday, 23 September 2016



Sebagai Perem-puan, puan yang mesti diperem sebelum dihidangkan. Tentu kita memiliki keterbatasan dalam melangkah menjemput jodoh. Ikatan-ikatan disekeliling memaksa kita menjadi seseorang yang menanti, tanpa menjemput dalam artian sebenarnya. Berbeda dengan Tuan, begitulah nasib Puan.

Konon, jodoh dibentuk oleh penantian (utamanya bagi perempuan). Penantian yang bukan sekedar nunggu nanti-nanti, melainkan butuh memupuk kesiapan. Nah, sebagian dari kita tanpa sadar sering bergunjing --yang acapkali kita samarkan sebagai curhatan-- kepada diri sendiri atau bahkan kepada grup rumpi... Tentang jodoh si anu udah datang duluan, kenapa aku belum? Padahal aku juga sudah --merasa-- siap dari segi umur maupun mental (perempuan jarang memikirkan kesiapan materi, baiknya itu lelaki saja yang pikir :p)

Menanti Hujan Selesai © 2016 Peri Tinkersel
Lalu, izinkan saya yang masih lajang ini untuk berdiskusi dengan kalian, para perempuan, untuk menilik kira-kira apa saja yang membuat hidup kita belum ada kamus PERNIKAHAN-nya. Boleh setuju, boleh tidak, atau bisa saja kamu juga punya pemikiran lain? Heum...

Ini mungkin hanyalah hal-hal kecil yang acapkali luput dari "ikhtiar" kita. Maksud saya, dari sekian banyak hal-hal baik yang kita lakukan dalam usaha menanti jodoh, ini jarang diperhatikan;

1.  Manage Keuangan

"Jika kita tidak bisa mengatur hal kecil, bagaimana mungkin mengatur yang besar?" -Sella, 23th, masih muda-

Hah, manage uang apa susahnya? Aku udah usaha kok!
Saya juga merasa begitu. Uwuwuw semenjak bekerja, saya tentu saja mengatur keuangan secara pribadi. Tanpa campur tangan Ibundohara. Mulai dari sandang, pangan hingga papan yah walaupun gak benar-benar tinggal di rumah papan sih. Tapi ternyata tidak mudah, masih kadang hutang sana-sini. Dan uang suka gak keliatan rimbanya. Kadang suka beli stok cemilan buat sebulan padahal jelas-jelas gak mengenyangkan dan nambahin bobot badan *ups*.  Suka laper mata kalau ada diskonan padahal diskon itu diembel-embeli minimal pembelian, yang tadinya gak mau beli apa-apa, jadinya beli apa saja, kan? Bisa dibayangkan, kalau masih begini juga,ketika menikah, kasian suami. Hehehe.

2.  Ngerem Kata
Untuk yang satu ini, emang udah sifat dasarnya perempuan yah hahaha susah sih. Ngerem kata ini gak cuma tentang kata terucap, melainkan juga kata tertulis. Misalnya kalau lagi ada persoalan, tanpa rem kita ungkapkan kebanyak orang. Kalau marah, langsung nyerocos semua yang ada dikepala dan hati dikeluarin. Kadang juga sampai ke media sosial. Itu bahaya banget kalo udah nikah. Semua orang bisa tau isi kamar kita kan? Jadi, seni ngerem kata ini sangat penting untuk dipelajari.

3. Bangun Lebih Pagi dan Produktif
Hayoooo, bangunnya kita udah pagi? Tapi bangun paginya malah dipake buat ngecek hape? Hahaha saya juga masih gitu.
Dicoba deh, bangun pagi, pagi banget sebelum subuh. Mulai dengan hal-hal yang "sebenernya malesin" buat dikerjain. Kayak ngerendem pakaian, nyapu, ngepel beberes dan lainnya. Emang sih, seorang pria menikahi perempuan bukan buat dijadiin pembokat. Tapi, ini melatih kinestetik kita. Anggeplah olahraga, buang kalori cemilan stok sebulan. Hahahaha.

Udah malem, sementara itu dulu. Lain waktu lanjut lagi yah insyaallah.

Salam Saya(ng)


B. Lampung, 23 september 2016

Assalamualaikum...

Mentemen, tadi saya habis rempong cari-cari darah segar buat ayah. Bukan karena Beliau udah berubah jadi vampir tapi karena mesti ngejalanin operasi insyaallah besok pagi pukul tujuh tiga puluh. Dianggota keluarga gak ada yang sama kayak ayah kecuali adik perempuan saya yang ngalamin disabilitas, jadi gak memungkinkan buat ngedonor. Kemarin udah cek jantung dan konsul anastesi. Alhamdulillah lancar. Tapi saya sempet ditanyain tentang buku yang lagi dibaca sama Abang PJ Perawat. Dengan wajah yang mengernyit saat saya sebut NARNIA. Tadi maghrib abis nganterin Jo yang udah ngerelain darahnya buat dipindahin ke ayah (saya iming-imingi dia dengan bilang abis ngedonor bakal turun berat badannya). Terus saya mesti tandatanganin kertas bermaterai buat kelengkapan berkas. Dan Abang PJ Perawat pun ngasih imbauan lagi...

The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader

"Ayahnya puasa yah mulai jam dua belas malem ini."
 "He'em." saya manggut, lagi khusuk ngisi data.

 "Minum juga gak boleh,"

 "Kok gitu? Entar dehidrasi."
 "Iyah, kalo perutnya diketok ama Dokter terus bunyi krucuk-krucuk jadinya dipulangin lagi ke ruangan."

 Saya nyengir. Terus balik kanan setelah sebelumnya bilang oke dan makasih.
Yakali, cuma karena saya masih seneng baca buku macem narnia, jadi diajak bicaranya pakek gaya anak-anak. Lagian, suara perut berisi itu bukan krucuk Bang, tapi bukbukbuk. Lagian yang kedua, pengarang Narnia kan orang dewasa, jadi gak ada salahnya baca.

 Sekali lagi, makasih atas segala bantuan temen-temen berupa apapun itu, sangat berarti.

Salam saya(ng)
Wasaalamualaikum.

NB:
Alhamdulillah anak momsel ada yang AB. Tadinya sempet waswas soalnya jo gak yakin juga ama goldarnya karena udah pernah cek duakali tapi hasilnya beda. Paling kalo hopeless yah goldar gue ama febri dicampurin.


B. Lampung 6 september 2016


Baru saja undangan dari tetangga singgah di tangan Sella lewat pintu rumah. Secara otomatis keinget Mas Dian yang bilang Abangnya mau nikahan jadi mau pulkam dulu sampe tanggal 26.

Belum juga lompat keingatan lain, udah kedengeran suara motornya.

"Ujannya deres," Sella cari-cari kalimat pembuka.

Mas Dian nya jawab iya sambil buka jaket. Ini, Beliau cepet banget keluar dari kepala Sella dan tau-tau udah ujanan di depan rumah.


B. Lampung, 21 september 2016



Suatu ketika, ditengah berentetan chat yang saya replay tatutatu *26 chat sekaligus dari Teh Anita* teteh nyeletuk...

"Sella, jangan nikah dulu yah sebelum teteh."

Sellanya cuma ketawa aja, terus nanyain alasan Beliau,

"Kalau udah nikah fokusnya beda, temen teteh yang beranak dua udah jarang bales kalo di chat. Entar gak ada temen curhat lagi."

Teh Anita ngadu sambil kirim screenshoot obrolan ama temennya, yang memang hampir gak ada respon. Sejenak kemudian hal ini membawa Sella pada kesadaran yang bijak. Sekaligus membingungkan.

Sella tau, tiap-tiap kita tentu punya kesibukkan dan prioritas hidup. Tanpa ingin menjugde siapapun, apapun kesibukkanmu, tentu saja teman juga bagian dari hidup. Tenggelam dalam keseharian sebagai ibu rumah tangga tanpa komunikasi yang cukup dengan pihak luar, justru bisa jadi penyebab kesetresan.

Ah si sella mah ngomong wae dah nikah aja belum....
Sella dan Alse © 2016 Peri Tinkersell

Heum, kalau mau dibandingin, sella juga sibuknya ngalah-ngalahin orang yang udah nikah dan seumuran sella, kok. Dibawah asuhan sella, ada bayi usia 13 bulan dan anak usia 8 tahun, Ayah yang baru saja operasi amputasi kaki -sehingga mengurangi kemampuan motorik Beliau dan butuh alat bantu protesa gerak- juga masih harus ganti balutan perdua hari --yang ini alhamdulillah dibantu mas dian-- juga kontrol ke RS. Sella juga nyuci baju tanpa mesin atas 7 pakaian anggota keluarga, beresin rumah juga aplusan dagang sama ibu. Tapi masih bisa balesin chat konsultasi, baca buku, mandi, masak dan MENIKMATI HIDUP. Tanpa menikmati, berat untuk menghandle. Lagipula, masih banyak orang yang tanggungannya lebih "heboh" daripada kita. Jadi kalau mau jujur, sella juga gak ada apa-apanya. Buat temen-temen yang seusia saya dan udah nikah, terus punya anak... Jangan lekas-lekas melepas dunia lainmu. Dunia kita, tidak hanya sebatas gerbang rumah.


B. Lampung, 21 september 2016


21 september

Angkutan Darurat

Omong-omong, saat mesti bawa Ayah kontrol yang pertama ke rumah sakit, Sella sama Ibu sempat kebingungan malamnya. Bagaimana tidak, Ayah baru saja buka jahitan dan masih ada darah yang ngerembes pada verban. Untuk dibonceng pake motor, itu tidak memungkinkan. Ada juga mobil pribadi punya teman Ibu tapi Sella gak bisa nyetir sendiri. Maka, pilihan paling tepat guna adalah AMBULAN.

Nah, persoalan kedua datang lagi, biaya ambulan dalam kota tuh sekali jalan sekitar 250-400k tergantung jarak tempuh. Kalau bolak balik, bisa-bisa untuk transportasi saja sudah ngabisin dana hampir 1 juta. Bukannya gak mau yang terbaik buat Ayah, tapi Ibu sekarang jadi tulang punggung keluarga. Dan masih banyak banget kebutuhan keluarga dengan 7 anggota di rumah. Kebayangkan seterongnya Ibundo Lastari. Hohoho.

Sebagai anak kekinian, Sella rajin lirik kiri kanan. Nah, dapet info tentang Layanan Ambulan gratis program Pak Wali, Walikota, bukan Walinikah

Buat temen-temen yang tinggal dan punya ktp bandar lampung, sila gunakan fasilitas ini. Cukup pakai photo copy ktp+kk. Gak pakai uang rokok, bensin dan jajan. Cukup kasih senyum, terimakasih dan nomer hape ke Mas Satpol PP-nya. Yaiyalah, gak usah ge-er, kalo kagak pake nomer hape nah mau ngubungin kamunya gimana?
.
Hotline Ambulan gratis siap jemput antar warga Bandar Lampung 0822-7822-1400



Tadi pagi Pak Benny ribut minta dibeliin minyak cajuput. Yaudah, sekalian saya beli tupat sayur yang deket PMI cabang B.Lampung, terus ketemu perawat pria terus dianya senyum. Akward. Pas balik keruangan dan ada pemeriksaan rutin eh ternyata Abang perawat tadi tuh tugasnya di ruang Ayah juga. Pantes kayak kenal.

Kemudian sella dipanggil ke kantor perawat buat urus blablablanya Ayah karena memang rencana udah bisa pulang ke rumah hari ini. Tapi, ayah dapet pelayanan home care sampai jahitannya dilepas. Semacam perawat datang ke rumah perdua hari sekali.

And, guess what?!
Yang bertugas buat home care Sang Ayah adalah Abang perawat yang ketemu di tempat tupat tahu.

Dari sekian banyak perawat di ruang gelatik... Tik... Tik...
Ruang gelatik © 2016 Peri Tinkersell


B. Lampung, 12 september 2016



.