Seperti perasaan yang salah penempatan saat mengembalikan Cetatu (nama sebuah smartphone). Setelah satu bulan lamanya kami menjalin kedekatan, kemudian si empunya said that he want to used it bye his self. Persis pula pada malam sebelumnya ini menjadi pembahasan saya dan Teh Anita saat di DT.

Dengan tenang, saya kembalikan pada si empunya. Tapi, ada sebuah perasaan menyiksa yang tertinggal. Perasaan gak ikhlas. Apalagi setelah saya dengar kemudian ternyata Cetatu ditawarin ke teman sekamar saya, bukan mau dipakai sendiri seperti yang dikatakan si empunya sebelumnya. Hal itu memupuk rasa benci di hati saya. Perasaan sebal itu muncul, membuncah dan merajalela meliputi diri. Padahal, apa sih hak saya?

Begini, apakah selama bersama Cetatu itu saya punya niat untuk memaharkan dia? Tidak. Apakah saya pernah menawarkan diri untuk memaharkan dia? Tidak.

Lantas, pantaskah saya marah? Kepada teman sekamar yang mau memaharkannya? Tidak. Harusnya.

Pun begitu, pada suatu masa ketika AC bilang dia sudah punya "bakal calon ta'arufan" kenapa saya kasih senyum yang hanya di bibir saja? Ini irasional. Penempatan perasaan yang salah. Karena selama ini saya tidak pernah menyatakan secara tersurat kepadanya untuk minta dilamar. Minta dimaharkan. Bahkan minta ta'arufan juga tidak.

Seperti kebersamaan dengan Cetatu, saya menjalani hari-hari yang nyaman dan bahagia dengan AC. Mereka sama-sama mempermudah urusan saya dalam konteks berbeda. Memang pernah terbesit di hati, tapi terabai oleh fikiran untuk mengikat diri dengan akad. Untuk menghalalkan atau dihalalkan. Padahal, kita semua sepakat, AKAD merupakan pengikat akurat hingga akhirat.


Tanpa mau memaharkan Cetatu, tentu dia bukan sah milik saya.

Tanpa mau dimaharkan oleh AC, tentu saya bukan sah milik dia.


Lantas, untuk apakah saya marah? Ini tentu saja, penempatan perasaan yang salah.



Nb: 
- Alhamdulillah setelah 2 bulan ada rejeki dapat smartphone lagi, dengan tipe yang sama dengan Cetatu. Warna yang sama.





Bandar Lampung, 12 Aug 2016




Abis gantiin popok Alse.