Perempuan (Copyright © 2016 Peri Tinkersell)

Diera (not diare) digital seperti ini, segala sesuatu mudah sekali terjadi. Termasuk kejahatan. Lebih spesifiknya, kejahatan yang bahkan tidak dirasa sebagai kejahatan oleh yang terlibat. Baik pelaku, maupun korban. Apa iyah? Mungkin kamu perlu contohnya.

Dua hari belakangan ini, saya dikirimi pesan yang isinya kurang pantas. Sebagai orang dewasa, kita harus sepakat tentang apa yang saya maksud kurang atau sebenarnya bahkan tidak pantas. Lebih kurang pantas lagi karena pengirimnya itu sahabat dari teman dekat saya. Dan dia berstatus sebagai seorang suami dari seorang wanita yang sedang mengandung lima bulan. Dan lebih kurang pantasnya lagi, dia tidak bertampang --yang bisa dibilang agak-- brutal. Dia juga bekerja di sebuah institusi swasta yang notabene lingkungannya adalah "ikhwan" (you know what I mean when I used ikhwan to descreb). Kalau yang melakukan itu adalah Axcel atau Qiqi (junior saya di workshop) itu masih bisa "diwajarkanlah", toh mereka baru lulus SMK dan otaknya memang masih khas anak muda. Sengklek. Hehehe.

Erlin dan saya, pada awalnya sangat yakin itu benar dia. Kemudian saya putuskan untuk bilang ke Mr.A yang adalah temannya Mr.B (yang mengirim pesan tidak pantas). Mr.A tidak percaya.

"Piye to...itu bener Mr.B? Asa kurang yakin. Mana nomernya? Blokir aja. Beres."

Begitulah tanggapan pertama Mr.A. Kemudian saya kirim nomer LINE-nya. Dan Dia bilang itu nomer udah lama gak aktif. Dan sekarang sedang musim penipuan identitas. Mungkin itu salah satunya.

Entah mengapa, karena Mr.A ini adalah AC bagi saya, jadi saya yang tadinya yakin ikut ragu juga. Tapi saya gak kehabisan akal. Saya giring Si pengirim pesan untuk SMS ke nomer saya menggunakan nomer dia yang lain (yang saya sinyalir nomer itu sering digunakan saat kontak dengan Mr.A) dan saya minta dia buat nge-message saya di FB menggunakan akun yang kemarinnya baru saja dimention oleh Mr.A.

And gueess what that working? I say Yah.

Saya screenshot dan kirim ke Mr.A melalui WHAT'SAPP. Coba tebak apa tanggapannya? Nothing. Pesan saya cuma di read. Belajar dari persoalan saya dengan Qiqi sebelumnya, saya memutuskan tidak mengirimi pesan apapun ke Mr.A. Mungkin sebagai pria, dia punya pertimbangan lain.

Selain pada Erlin (ofcourse I always tell her everything 'cause she's my roommate) saya juga cerita ke Teh Anita. Yah kan selain lebih dewasa (tampaknya) Teh Anita juga roommate saya, tahun lalu. Biasalah cewek, butuh temen curcol. Ditengah kesibukan skripsinya yang baru sampai BAB 4, Teh Anita masih sempet-sempetnya denger dan baca cerita saya. Dia juga bilang untuk nge-blokir saja. Tapi Teh Anita percaya kalau yang kirim pesan memang Mr.B.

Masih belum puas, saya buka FB. Cari akun istrinya Mr.B. KETEMU. Saya inbox dan minta nomer wa/line dia yang bisa dihubungi. Pas saya buka fb lagi, eh ternyata fb saya udah di blokir. Saya yakin itu Mr.B pelakunya, tapi Allah memang bijak. Sebelum akun saya diblokir, Sang istri udah sempet kirimin nomernya. Saya save.

"Kalau mau ngalahin Raja, serang saja Pion-nya." - Benny Bakhty Aras, Pria nomer satu di hidup saya -

Siapapun bisa tebak. Kalau memang Mr.B pelakunya, pastilah dia kebakaran jenggot. Dan benar, sebelum buka puasa kemarin, dia kirim lagi pesan ke saya. Isinya beda banget dari dua hari belakangan. Pada pesan terbaru, dia bilang.... 

"...Yang kemaren cuma bercanda karena udah lama gak ngechat jadi pengen iseng aja seharian lagian sekarang udah tobat. Gak sebodoh itu juga lah, istri lagi hamil. Ramadhan pula."

What the....
Saya gak peduli dia beneran bercanda atau cuma mau nutupin rasa malunya karena udah bahas tentang hal yang malu-maluin ke saya. Yang jelas, itu adalah kejahatan. Bercanda hal yang gak pantas (kalau memang itu bener bercanda). Saya yakin, banyak dari kalian, utamanya perempuan, yang sebenarnya telah jadi korban --katakanlah-- pelecehan (walaupun "cuma" secara verbal) tapi tidak sadar. Seperti yang disarankan oleh Mr.A dan Teh Anita, memblokir akun mereka memang cukup membantu, paling tidak kita gak akan nerima pesan darinya lagi. Tapi, bagaimana jika dia menggunakan akun lain dan media lain? Maka perlu dicatat, memblokir saja tidak cukup. Jujur deh, emang kalau udah ngeblokir akunnya lalu kalian bisa tidur dengan tenang? TIDAK. Lalu, apakah dengan memblokir akunnya maka dia akan sadar kalau itu salah? TIDAK. Bahkan kita membuka kemungkinan lain untuk dia melakukan tindakan itu kepada orang yang lain (dalam kasus saya, perempuan). Kita harus memberinya pelajaran. Menghentikannya, kalau bisa. Atau bahkan melaporkannya ke Pihak yang Berwajib jika memang dirasa sangat perlu. Sepertinya ini sepele, tapi tahukah kamu bahwa kalimat "Gimana, udah buka segel?" Adalah kalimat yang sangat tidak senonoh. Sama seperti soal Pramugari yang diomongin mau susu kanan atau kiri. Dan bahkan Hal "kecil" kayak gini bisa dijerat undang-undang...

Gak percaya? Misalnya,

1. Pasal 315 KUHP (Tentang penghinaan dengan sengaja yang bukan termasuk pencemaran nama baik).
2. Pasal 311 KUHP (Tentang perbuatan tidak menyenangkan).
3. UU ITE (Karena melalui media sosial).

Nah, mulai sekarang, jangan mau lagi jadi korban yang gak sadar. Walaupun kamu anggap agak berlebihan kalau sampai lapor polisi, tapi paling tidaknya buatlah dia jera dengan caramu. Misal, katakan kau akan bilang istrinya. Apakah itu mengancam? Heum tidak juga, itu hanya untuk pembelaan diri. Selalu simpan chat yang seperti itu, yang mengindikasikan suatu kejahatan. Mungkin bikin kamu gatel, tapi jangan hapus. Pokoknya itu adalah dokumentasi. Suatu waktu pasti diperluin. Yakin deh.

Oke, karena ini udah agak siang maka saya perlu mandi. Satu hal yang harus digaris bawahi dari tulisan singkat ini, jangan mau jadi korban yang gak merasa korban. Apalagi korban perasaan. Fiyuh.


Bandung, 25 Juni 2016



Sudah agak lega. Sudah baikan ama Dek Qiqi.